Saturday, February 4, 2012

Budaya Senyum dan Senyam-Senyum Kita

Siapa yang melihat Press Conference KPK kemarin, saat Abraham Samad, Ketua KPK mengumumkan penetapan Status tersangka Angelina Sondakh? Terlepas dari kehebatan KPK yang kelihatannya serius mengungkapkan kasus korupsi Wisma Atlet, tapi cara Samad memberikan Press Conference kemarin menjadi pembicaraan banyak pihak.  Samad membawakannya dengan banyak senyum, mengarah ke senyam-senyum, bahkan dengan bercanda menyebutkan inisial tersangka AS dengan plesetan namanya (Abraham Samad). Mungkin waktu becandanya yang tidak tepat. Di Tweeter banyak orang menggambarkannya sikap Samad dalam Press Conference itu sebagai “terlalu ramah”, beberapa lebih keras sebagai bentuk "dagelan", bahkan “cengengesan.”  Yang jelas, konferensi pers KPK kemarin kan pastinya memberikan kesedihan dan ketegangan juga pada sang tersangka dan keluarganya, jadi seyogyanya tidak dipleset-pelesetkan dalam bentuk canda-canda yang tidak terlalu lucu?

Nah, Ini pengalaman saya pribadi. Suatu hari seorang konsultan bule berkebangsaan Amerika  yang kebetulan bekerja dengan saya mengeluh. Si bule baru beberapa hari tiba di Jakarta. Rupanya, setiap kali ia melakukan aktivitas ke Pantry atau photocopy/fax area, office boy disana selalu melihatnya sambil tersenyum (mungkin senyum-senyum). Si bule memakai istilah: “grin”, yang artinya kira-kira adalah menyeringai, atau cengar-cengir.  “Why are the boys always smiling at me, Tika? They stare at me and smile or grin at me everytime I do something around them, which is about hundred times. Something wrong with me? Or is that because I look funny or ugly or what??”, tanya si Konsultan gelisah. Dengan suara setengah berbisik dia bertanya pada saya: ”Are they gay?”.

Saya harus menerangkan pada si bule mengenai Budaya Senyum (dan senyam-senyum) pada kebanyakan masyarakat Indonesia yang sering menjadi salah arti, dan tentunya juga memanggil semua office boy serta memberikan pengarahan mengenai kebiasaan senyam-senyum  dan keramah-tamahan mereka yang membuahkan “tabrak budaya”. Bukan lagi “cross culture” tetapi  “crash culture.”

Masih kisah nyata. Anda ingat Amrozi? Teroris Bom Bali yang menewaskan 202 orang itu? Suatu hari setelah ia ditangkap, foto Dai Bachtiar, (Kapolri waktu itu) yang sedang tersenyum bersalaman dengan Amrozi, muncul di seluruh headline surat kabar di banyak negara termasuk Australia. Kebetulan dalam peristiwa Bom Bali itu warga Australia lah yang paling banyak korbannya. Senyum sang Jendral dan Amrozi di foto itu konon bukan hanya sangat menyakiti hati seluruh keluarga korban, tapi juga membuat marah dan menjadi bahan cemoohan publik dan pejabat tinggi Australia. Mereka bingung mengapa Jendral Kapolri kita tersenyum pada teroris sadis yang dalam foto itu juga tampak cengengesan. Tokoh Oposisi  yang juga Juru Bicara Kementrian Luar Negeri, Kevin Rudd waktu itu mengatakan: “I thought it would make all Australians feel physically sick that any person could laugh at the suffering, the pain, the torment and the death of hundreds of innocent Australians."   "Publik Australia muak dan terheran heran kok ada orang bisa tertawa ditengah penderitaan dan keos atas begitu banyak kematian yang diakibatkan manusia itu", katanya.  Pemimpin oposisi Simon Crean mengomentari dengan keras foto itu dan menyebutnya sebagai sebagai "bizarre and insensitive.” “Luar biasa aneh dan tidak sensitif.” Bahkan Perdana Mentri John Howard ikut berkomentar marah atas foto itu. Intinya adalah, senyum Amrozi dan Kapolri itu membuahkan ketegangan bilateral antara dua negara.

Senyum adalah ibadah. Setuju seratus persen.  Segala sesuatu dimulai dengan sebuah senyum. Setuju juga. Senyum adalah bentuk sebuah pengharapan akan hal baik. Setuju juga! Lalu apa yang terjadi kalau “senyum” berubah  menjadi sebuah “senyum-senyum”?

Senyum oleh para ahli dikatakan sebagai  ekspresi wajah  yang terjadi akibat bergeraknya atau timbulnya suatu gerakan di bibir atau kedua ujungnya, atau pula di sekitar mata. Umumnya senyum terjadi atau dilakukan untuk menampilkan kebahagian dan rasa senang.  Senyum juga dapat dilihat sebagai produk budaya. Kata beberapa  pakar budaya, ekspresi emosi dipengaruhi budaya

Tiga contoh di atas menunjukkan bahwa sebuah bentuk budaya seperti budaya senyum dapat saling bertabrakan dengan budaya manapun. Tidak melulu budaya asing dengan budaya lokal, bahkan diantara budaya budaya lokal itu sendiri. Kita tahu Indonesia memiliki ribuan suku dan bahasa daerah. Tentu, ragam budaya suku bangsa itu pun berbeda. Satu-sama lainnya, memiliki karakter khusus. Kita berasumsi bahwa kebanyakan orang Jawa, seperti Amrozi misalnya, dikenal sebagai suku yang lebih banyak tersenyum dibandingkan suku batak misalnya,  namun kenyataanya Abraham Samad bukan orang jawa, dan kemarin ia banyak senyum. Kita juga berasumsi bahwa ekspresi perasaan bahagia, sedih, marah memiliki kesamaan pada banyak orang dimanapun, ternyata tidak. Kalau melihat senyam-senyumnya Saiful Jamil ketika membicarakan kematian istrinyapun, atau senyum Jendral Adang Daradjatun yang memberikan keterangan pers ketika istrinya Nunun tertangkap, kadang kita mengernyitkan kening. 

Ray Birdwhistell (1963) seorang pakar human body motion memberikan sebuah  hipotesis yang mengatakan bahwa tidak ada ekspresi yang memiliki arti universal. Semua gerakan itu adalah produk budaya, bukan diturunkan secara biologis. Saya pikir, kalau itu sebuah produk budaya, artinya dapat diteliti, dipelajari dan diperbaiki? Seperti memperbaiki budaya korupsi? Budaya asal bapak senang? Budaya malas? Budaya kacungisme?

Saya juga orang yang suka tersenyum, bahkan pelucu yang kerap tertawa terbahak-bahak. Saya percaya senyum akan mengawali sebuah hal positif.  Jadi kalau masalah ini saya uraikan sebagai sebuah sudut pandang, itu bukan karena saya anti senyum.  Idealnya  mungkin menjadi seorang yang lintas budaya, artinya kita peduli dan sensitif atas pemikiran budaya lain atas tindakan dan sikap kita? Dengan kata lain,  sebagai manusia lintas budaya kita mestinya tahu kapan harus senyum, dan kapan harus senyam-senyum.

Sunday, January 30, 2011

Perempuan Tabanan Pemecah dan Penjaja batu

Saya baru saja kembali dari Bali, minggu lalu. Sudah  puluhan kali saya ke Bali untuk pelesiran atau urusan kerja, dan bahkan pernah tinggal disana kurang lebih satu tahun di sekitar tahun 1988-1989,  tetapi perempuan pemecah dan penjaja  batu di Tabanan itu, baru dalam perjalanan  kemarin saya perhatikan. 

Diundang bersama teman-teman dari sebuah "weekend gateaway" program yang diadakan oleh Majalah MORE, saya baru saja  bertemu dengan perempuan-perempuan itu di kampung kecil bernama Desa Tegal Jadi, di wilayah Kabupaten Tabanan. Sejenak kami mencoba “menyelami” pekerjaan mereka dengan caberjalan beriringan, menyusuri jalan yang mereka tempuh dari jalan tempat mereka meletakkan batu di tepi jalan besar, menuju sungai kecil yang curam dan terjal, sekitar 400 meter jarak tempuhnya. Untuk mencapai sungai kecil itu anda harus berjalan di jalan setapak yang menurun dengan cukup curam, sebelum harus menuruni anak tangga yang sangat terjal dan licin, tanpa  pembatas di kanan-kiri kita. Jika saya tergelincir kemarin (thank God we're  all fine!), saya pasti akan luka parah, karena dari tangga terjal tempat saya turun menuju dasar tanah itu berjarak sekitar 6 s/d 8 meter. Di sungai kecil di dasar jurang itu mereka memecah-mecah batu  yang masih menggunung dan mengangkatnya ke jalan raya, dengan kembali menyusuri tempat kami berjalan turun tadi, kali ini tentunya mendaki dengan 3 bongkahan besar batu di kepala mereka. Dalam sehari (Sekitar 8 jam kerja) mereka mampu mengangkat dan menyusun ½ kubik batu kali yang harga jualnya sekitar Rp. 20,000 per kubik.  Dari kacamata apapun atau siapapun kelihatannya tidak manusiawi.  Sad? I think so. What a life!

Jadi jika anda sedang jengkel dengan bonus di kantor anda yang tidak kunjung tiba, atau resah dengan gaji yang sudah 7 tahun tidak naik, ingat saja perempuan Tabanan pemecah dan pengangkat batu di gambar ini. Pasti anda akan menyukuri semua yang sudah  atau  sedang anda peroleh.

Tuesday, February 17, 2009

Hari Pembantu Nasional, Bik Sum dan Si Puput, Anak Indonesia Yang Tidak Punya Cita-Cita.

Ketika beberapa LSM mengundang saya untuk hadir dalam aksi solidaritas untuk Pembantu Rumah Tangga (PRT) di bundaran Senayan pada tanggal 15 Februari kemarin, saya jadi teringat pada almarhum Bik Sum, pembantu yang saya kenal sejak saya dan 5 saudara saya lahir sampai ia meninggal dunia dihadapan saya tahun 2006 lalu.

Bik Sum, perempuan Jawa asal Semarang itu, bekerja pada kami selama kurang lebih 55 tahun, melayani generasi Almarhum Nenek saya, Ibu saya, saya dan saudara-saudara saya, serta bertemu dengan generasi kemenakan saya di hari tuanya. Selama 7 tahun terakhir hidupnya, praktis ia hanya tinggal makan, tidur dan nonton TV, dan dengan tegas ia menolak ketika kami mengusulkan untuk memasukkannya ke Panti Jompo. Selama 3 tahun sebelum ia meninggal, saya mempekerjakan seorang pembantu lagi yang secara khusus melayani perempuan tua yang sudah sangat rewel dan bertingkah seperti anak kecil itu.

Merawat perempuan tua yang tidak pernah menginjak bangku sekolah itu sangat tidak mudah. Jika makanan yang dimasak menurutnya tidak enak, ia akan membuang makanan yang disajikan, dan meminta makanan kesukaannya. Belum lagi kegemaran-kegemaran anehnya seperti menyembunyikan barang-barang rombeng yang sudah kami buang ke tempat sampah dan dianggapnya masih bagus. Ketika saat-saat tertentu saya melakukan inspeksi dan memeriksa kamarnya dan membuang sekitar 2 karung barang bekas yang sebenarnya sudah pernah dibuang, ia akan menangis menjerit-jerit sambil mengambil tali dan mengancam untuk bunuh diri. Biasanya saya dan saudara-saudara saya akan tertawa-tawa dan menakut-nakuti dia akan memanggil Polisi. Sampai nafas terakhirnya saya ada disampingnya, dan selalu minta maaf atas kesalahan saya dan keluarga saya selama ini dan minta ia pergi dengan tenang serta berulang-ulang meyakinkan ia bahwa tinggal bersama Tuhan akan lebih enak, kata saya. Anda tahu jawabnya? “Aku mau sembuh Non, mau sembuh, aku masih kuat”. Padahal ketika ia berkata seperti itu, usianya sudah hampir 90, matanya sudah buta karena sakit 3 bulan terakhir, nafasnya tersengal-sengal karena asma akut, tangannya patah dan kami topang karena ia sempat mencoba bangun dari tempat tidur tetapi terjatuh, aktivitas buang airnya sudah dilakukan di tempat tidur, baunya sudah tak enak dan berat badannya mungkin hanya tinggal 30 Kg.

Bik Sum adalah simbol kesetiaan, dan kekuatan seorang Pembantu rumah tangga.

Puput adalah seorang perempuan kecil lumayan cerdas berusia 8 tahun, asal Kutoarjo. Suaranya cempreng, bicaranya ceplas-ceplos, berani, makannya banyak seperti orang dewasa. Ia terdampar di rumah saya beberapa bulan terakhir ini bersama ibunya, seorang janda berusia 40, pembantu saya yang luar biasa cerewet, tetapi dengan skill yang jauh dibawah angka 6. Saya harus mendidiknya dari awal untuk memenuhi standard kerapihan dan kebersihan di rumah saya, serta mendisiplinkan kecerewetannya. Majikan tempat ia bekerja sebelumnya rupanya tidak peduli pada standard-standard itu, akan tetapi peduli pada “label panggilan” untuk mereka. Ia diharuskan memanggil majikannya terdahulu dengan sebutan “Tuan” dan “Nyonya” seperti jaman perbudakan kolonial Belanda. Saya terheran-heran!
“Mengapa bukan Bapak dan Ibu?”, tanya saya, dengan alis berkernyit.
“Enggak boleh, Kak, harus Tuan dan Nyonya”, jawab Sunarni pembantu saya.

Si kecil Puput, anak pembantu saya itu bersekolah di sebuah sekolah negeri gratis,dekat rumah saya, jadi praktis saya hanya sesekali mengeluarkan uang untuk membeli seragam, buku, uang jajan harian serta pakaian. Puput sadar betul ibunya adalah seorang Pembantu Rumah Tangga, dan dengan lantang ia menjawab; “Pembantu!”, ketika gurunya atau temannya bertanya apa pekerjaan ibunya. Sesekali di waktu senggang saya memeriksa bukunya dan mengarahkan dia untuk menulis puisi dalam sebuah buku agar ia sedikit lebih “cultured” dan melupakan sinetron televisi. Walaupun ia rangking I di sekolahnya, tetapi setiap kali saya bertanya apa cita-citanya kalau sudah besar, Puput akan menjawab: “belum tau!” atau “tidak tau!”.

“Semua orang punya cita-cita, Puput!”, kata saya. “Kamu harus punya cita-cita, Dek, harus punya keinginan. Apa keinginanmu? Main Sinetron? Jadi polisi? Jadi Dokter? Jadi Guru? Asal jangan jadi peragrawati, karena kamu kelihatannya bakal bogel dan pendek, dan jangan jadi pembantu lagi dong, biar enggak miskin terus”, sambung saya dengan mendorong.

“Aku enggak tahu, Kakak. Kan orang nasibnya beda-beda dan ganti-ganti”, jawab Puput, dengan sedikit sewot.

Jawabannya seperti mengemplang kepala saya. Sampai saya menulis Notes ini, setelah berbulan-bulan, Puput tetap belum “make up her mind”, mau jadi apa dia kelak. Padahal ketika saya seusia Puput, saya akan menjawab cita-cita saya dengan konsisten setiap kali ditanya, demikian pula kemenakan-kemenakan saya dan anak-anak seusia Puput yang saya kenal, mereka akan menjawab cepat ketika ditanya cita-citanya.

Sebagai anak pembantu, Puput sudah dipagari atau terpagari tanpa sadar oleh faham “pasrahisme”; pasrah dengan nasibnya. “Gimana nanti” itu filosofi hidupnya. Saya merasa berkewajiban merubah mindset kepala Puput itu. Belakangan kami sering membawanya ke Mall atau ke acara-acara keluarga, supaya Puput melihat dunia luar dengan lebih luas lagi dan, hopefully, one day dia akan punya cita-cita seperti semua anak-anak lain. Minimum, saat ini Bahasa Indonesianya, caranya bertutur dan choice of words yang ia gunakan, sudah mirip dengan kami sekeluarga. Asal jangan bicara cita-cita. Untuk yang satu itu ia masih bingung.

Puput adalah simbol kepasrahan seorang PRT. Kepasrahan itu ditularkan ke generasi baru mereka; anak-anak mereka.

Cerita-cerita mengenai pembantu kita ada dalam kantong kita masing-masing. Kadang terkunci rapat sebagai rahasia kita. Setiap hari kita bertarung dengan "anger management" kita ketika menghadapi pembantu yang bodoh, jorok, pembohong, "ndablek", malas, rakus atau bau. Tapi mungkin semua cerita rahasia dibalik pintu rumah kita itu terwakili oleh slogan-slogan yang saya baca pada hari aksi Solidaritas 15 February lalu; "Berikan Hari Libur untuk Pembantu Rumah Tangga,"; "Beban Kerja yang Berat,"; "Berikan Waktu Belajar untuk Pembantu Rumah Tangga,"; “Prioritaskan UU Perlindungan Pembantu”; “Upah Minimum pembantu berapa?”, dsb
  
           So, should We Say, Selamat Hari Pembantu Nasional?

                                                             Puput

Thursday, January 10, 2008

"Boru Raja", Sebuah Konsep Priyayi Perempuan Batak

Alkisah pada jaman dahulu kala, di jaman Cinderella, seorang Raja sedang mencari seorang calon istri. Banyak keluarga kerajaan tetangga menjodohkan sang Raja dengan putri-putri mereka, namun sang Raja mencari seorang Putri sejati. A “true princess”. Bibit bobot bebet adalah penting bagi keluarga kerajaan ini demi mempertahankan silsilah sang Raja. Dalam proses pencaharian, muncul seorang kandidat yang tampak sederhana, jauh dari kemewahan dan keglamoran seorang “princess”. Untuk itu Raja perlu memberikan test. Ia mengundang princess sederhana ini untuk menginap di istananya, dan memberinya sebuah kamar indah dengan pelayanan terbaik kerajaan. Sang princess tidur di tempat tidur berlapis 7 kasur tebal, dan di lapisan paling bawah diletakkan sebutir kacang. Pagi harinya dalam acara makan pagi, sang Raja bertanya : “Bagaimana tidur anda tadi malam, Princess?”. Sang Princes yang tidak tampak sebagai princess itu menjawab: “Saya agak susah tidur, Paduka, saya rasa ada sesuatu yang mengganjal di punggung saya, seperti benda kecil entah apa, tapi I will be fine …”, jawab sang Putri. Saat itu, sang Raja tahu, perempuan itulah Princess sejati yang ia tunggu.

Itu adalah satu dongeng kanak-kanak terkenal asal Swedia yang berjudul THE PRINCESS & THE PEA karangan HC Adersen, yang (sampai hari ini) sudah diterjemahkan ke dalam ratusan bahasa dan dalam bentuk play dimainkan di ribuan theatre di seluruh dunia. Setelah saya dewasa baru saya mengerti maknanya. Dongeng itu, menurut para psikolog Barat, mengajarkan anak-anak perempuan untuk sensitif. The moral of the story menurut para kritikus sastra adalah “Nobody but a real princess could be as sensitive as that”.

Waktu saya kecil hingga remaja, almarhum Ayah saya kerap kali memberitahu kami anak-anak perempuannya untuk berbuat, bertindak, berpikir, berbicara dan berperilaku seperti “boru raja” atau dalam bahasa Indonesia adalah “putri raja”. Sungguh mampus, waktu itu saya tidak mengerti apa maknanya dan sebal setiap kali Ayah saya mengingatkan saya akan hal itu. Waktu itu, menurut saya itu hanyalah sebuah konsep konyol dalam filosofi tradisional batak.

Ayah saya sering sekali memperbaiki cara duduk saya yang kerap sembarangan, tawa saya yang terbahak-bahak, cara berpakaian saya yang seenaknya, make-up dan hairstyle saya yang dianggapnya sering berlebihan (for your info, semasa remaja saya terobsesi dengan rambut saya), lalu cara berjalan saya yang agak tergesa-gesa, bahasa Indonesia saya yang sering saya campur adukkan dengan bahasa jalanan (semisal; “gue”, “elu”, “disono”; belum lagi pemenggalan bahasa seperti: “memang” menjadi “emang”, “sampai” menjadi “nyampe”, dan sekitar 700 kata bahasa Indonesia lain yang sering saya selewengkan). Setiap kali Ayah memperbaiki hal salah yang saya lakukan, dia akan mengatakan: “boru raja tidak akan berbicara seperti itu”, “boru raja tidak akan bertindak seperti itu”, “berlakulah seperti boru raja”, dan sebagainya. Frasa “boru raja” itu, ribuan kali saya dengar, sampai-sampai saya pikir kami ini keturunan raja-raja. Ternyata bukan.

Memasuki masa remaja dan pemudi, ayah saya juga memberikan filosofi menjadi “boru raja” dalam menyikapi keremajaan anak-anak perempuannya dalam hal berpacaran dan menghadapi lelaki. Dalam keseharian, sambil bercanda atau diskusi serius, ia bahkan dengan detail memberikan standard “boru raja” dalam bergaul dan memilih lelaki. (Goodness! Mungkin saja itu penyebab saya tidak menikah sampai hari ini, karena saya mungkin masih mencari calon “Raja” yang terekam dalam computer brain saya).

Konsep “boru raja” dikenal dalam setiap keluarga Batak. Sering muncul dalam percakapan sehari-hari dan di acara-acara adat. Kata "raja"  itu sering didengungkan di telinga orang batak. Orang batak urban sering menganggap filosofi-filosofi kuno batak adalah produk kolot generasi lama dan meremehkannnya. “Raja” dalam filosofi batak, seperti yang yang saya sudah jelaskan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, berarti “yang dihormati”. "Raja do ompung nami" ("kakek kami adalah raja"), artinya, kakek kami adalah orang yang terpandang atau dihormati.  Keluarga batak dari pihak perempuan yang disebut hula-hula pun sering disimbolkan sebagai “Raja”. Simbol Raja bermakna “penghormatan”. Istri seorang lelaki batak sering dikatakan sebagai “boru ni raja” atau “putri si raja”. Posisi “Tulang” (saudara lelaki ibu saya), adalah Raja bagi semua kemenakannya.

Praktis, sebutan “boru raja” adalah sebuah konsep “kehormatan” dan “penghormatan” untuk perempuan batak yang dimulai sejak ia lahir. “Kehormatan” dan “penghormatan” ini meliputi banyak aspek seperti; kepatutan, moral, etika, sensitivitas, dignity, pride, wisdom, tradisi dan adat istiadat, dsb. Siapapun dia, apakah dia seorang perempuan istri Jendral, putri seorang pengusaha atau inang-inang pedagang ikan teri di pasar Senen,mereka  lahir didalam konsep “boru raja”.

Banyak keluarga batak mungkin tidak pernah menerjemahkan konsep “boru raja” ini kepada turun-temurunnya seperti  cara ayah saya; the way my father did it. Tetapi dari banyak personal research yang saya lakukan, dari kampung miskin di Lontung, Samosir yang kerap kali saya kunjungi, hingga Singapore dan New York City tempat saya pernah belajar sesaat dan yang juga sering saya kunjungi dimana banyak orang batak yang saya kenal tinggal, mereka semua mengenal konsep “boru raja” yang sering didengungkan oleh ayah-ayah mereka.

RachNasution, sahabat saya yang sangat New Yorker itu dengan berseloroh pernah mengatakan: “boru raja enggak boleh ngemis-ngemis cinta”, ketika kami berdiskusi mengenai hubungan cintanya yang putus dengan seorang pemuda yang saya kenal. Itu mungkin hanya sebuah ungkapan dari sahabat saya Rachel yang meletakkan konsep “boru raja” dalam menggambarkan pride (seringkali disalah artikan sebagai keangkuhan atau gengsi).

Dalam situasi bergurau yang lain ketika seorang sahabat bertanya tentang kedekatan saya dengan seorang teman lelaki yang sudah menikah yang sering berdiskusi dan berkomunikasi dengan saya lewat sms, dengan cepat saya mengatakan: “hush! Boru Raja tidak akan pernah involved dengan married man manapun!”. Artinya, konsep “boru raja” yang saya anut itu dapat saya pastikan akan menghalangi saya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang keluar dari nilai-nilai kepatutan, etika, norma, dignity, pride, seperti terlibat affair dengan seorang lelaki yang sudah menikah misalnya, dalam konteks di atas.

Konsep “Raja” memiliki makna yang sangat luas; memasuki teritori adat, darah dan keseharian keluarga batak. Pertengkaran-pertengkaran di kalangan keluarga batak sering disudahi dengan kalimat “Raja do hita” atau terjemahannya adalah “kita adalah raja”. Artinya, kita tidak akan merendahkan diri kita untuk mempertengkarkan hal itu, karena seorang Raja tidak akan merendahkan martabatnya dengan pertengkaran-pertengaran, perkelahian dsb. Hebat kan konsep “ke-Raja-an” dalam filosofi batak itu? Walaupun dalam prakteknya hal itu lah yang paling susah dilakukan oleh orang batak, mengingat karakter banyak orang batak yang temperamental. Mungkin konsep itu dibuat oleh opung-opung jaman dulu untuk mengatasi karakter “keras” orang batak. Apapun itu, betapapun sulitnya mengimplementasikannya, makna konsep "raja" itu luar biasa.

Inti dari konsep “boru raja” dalam filosofi batak mengajarkan setiap perempuan batak untuk memahami nilai-nilai “kehormatan” dan “priyayi”, kata yang dipakai oleh masyarakat jawa untuk menggambarkan konsep yang sama yang diambil dari kasta tertinggi orang jawa yang berasal dari kalangan bangsawan atau darah biru. Konsep “boru raja” juga sama dengan keadaan yang digambarkan dalam dongeng anak-anak asal Eropah, karya HC Andersen, yang saya gambarkan di paragraf pertama tulisan ini.

Keningratan bukan semata sebuah lambang “kasta” belaka, tetapi sebuah simbol kepatutan yang menjadi ukuran-ukuran tidak tertulis dalam kehidupan sehari-hari. Saya pribadi berterima kasih pada ayah saya yang selalu mengajarkan saya dengan konsep itu sejak saya kecil dan sedikit banyak membentuk saya yang sekarang, walaupun ketika itu saya begitu membenci konsep yang saya gambarkan sebagai konsep kesombongan perempuan batak itu. Memang tidak akan saya telan mentah-mentah begitu saja, tetapi entah mengapa, setelah dewasa, setelah saya mengerti maknanya, saya mengagumi konsep itu dengan segala kelemahannya.

Penulis : Tika Sinaga

Ditemukan kembali di website Silaban Brothers. Thank you Silaban Brothers, for keeping all my writing notes! Terima Kasih, Silaban Brothers!

Tuesday, November 13, 2007

DI KERAJAAN BATAK BANYAK TAIK KERBAU

Masih soal identitas Batak. Saya berusia sekitar 15 tahun pertama kali menginjak yang namanya tanah leluhur. Saya ingat betul waktu itu sambil bersungut-sungut saya menyusuri jalan setapak dari Danau Toba menuju rumah tua peninggalan Opung saya yang secara fisik tidak pernah saya kenal. Dalam perjalanan, beberapa kali sepatu cinderella saya menginjak taik kerbau. “Kok, banyak sekali taik kerbau di Kerajaan Batak yang sering dibanggakan si Papi ini” pikir saya waktu itu.

Ayah saya sering kali membanggakan dirinya sebagai cucu Ompu Raja Hattu, buyut saya yang hidup sekitar abad 19. Katanya ia seorang Raja yang bijak seperti empu, Landlord, pemilik banyak tanah, juga seorang pahlawan perang (konon banyak tanah yang direbutnya lewat peperangan), penganut animisme yang juga poligamis, sakti dan magis (konon si ompung ini bisa menghilang mengelabui musuhnya), dan sangat disegani oleh lawan dan kawannya. Tadinya saya pikir dia punya Keraton seperti Sultan Yogjakarta. Ternyata tidak. Hanya rumah panggung sederhana yang itupun dibangun oleh anaknya, kakek saya. Kayu penopang rumah itu luar biasa bagus padahal sudah ratusan tahun umurnya. Itu yang saya lihat 25 tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, hebat juga si Opung ini! Bayangkan, ia sudah memberangkatkan generasi pertama keluarga saya untuk merantau ke Semarang sebelum awal tahun 30 dari tempat yang begitu remote. Kalau sekarang rumah itu sangat bagus dengan antena parabola didepannya, itu karena keturunannya telah ramai-ramai merenovasinya. Waktu itu nalar saya sudah mengatakan bahwa konsep Raja di suku bangsa Batak bebeda dengan konsep Raja-Raja di Jawa atau di Inggris.

Sebutan Raja diberikan oleh sebuah keturunan marga sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang yang ‘dirajakan’ atau dihormati, bukan karena rakyat menghamba kepadanya atau sang raja menguasai teritori kerajaan yang berkekuatan hukum. Terlebih jika orang yang dihormati ini atau si raja ini punya banyak tanah (landlord), maka dia akan lebih dihormati. Double lah penghormatan itu. Manusiawi kan? Artinya kakinya tidak nyemplung ke sawah langsung menanam padi, melainkan dia punya man-power, sanak-saudara dan orang sekampung yang berkerja untuknya di tanahnya. Sekali lagi intinya, makna raja di suku bangsa batak adalah sebuah penghormatan. Ke”rajaan”nya tidak terwarisi seperti mewarisi darah biru sebuah dinasti. Tak ada yang lebih raja dari raja lain. Yang lebih kaya satu dengan yang lain yah tentu ada. Yang lebih dulu merantau juga ada. Jadi kalau ada orang Batak bilang opungnya raja diraja, Raja beneran, either dia bohong atau sok tahu atau dia enggak mudeng sama filosofinya. Kuburan sebesar dan semewah pyramid tidak akan membuatnya jadi raja beneran. It certainly doesn’t make any of his family a royalty! Pastinya mungkin membuat dia kelihatan lebih kaya dari lainnya atau mungkin lebih maju dari lainnya. Mungkin! Keturunannya ingin mendudukkannya di posisi terhormat. Sah-sah juga! Bentuk pemujaan biasa.

Kalau satu wilayah geografis suku bangsa batak lebih maju dari lainnya itu adalah karena konsep migrasi, walaupun disetiap wilayah saya melihat kemiskinan dan ke-tradisional-an yang saya gambarkan dengan taik kerbau. Bahkan ketika 1 bulan lalu saya kembali mengunjungi wilayah itu! Teorinya di tempat yang ditinggali imigran akan lebih banyak modernisasi karena disanalah terjadi akulturasi dan asimilasi budaya. Apalagi jika wilayah itu berada di perbatasan budaya lain seperti orang batak selatan yang posisinya dekat Sumatra Barat. Pembauran. San Fransisco juga jauh lebih multikultural dan modern dari pada dusun bahkan kota di Oklahoma. Di San Francisco ada Kampung Cina, Kampung Hispanik, dll. Di Jakarta ada Kampung Ambon. Di Simalungun ada Tanah Jawa. Di Medan ada Kampung Keling. Karakteristik wilayah migran.

Orang batak malah terkondisikan Demokratis bukan Monarkis. Philosophy of Life orang batak terlihat pada sistem kekerabatannya. Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak lahir hingga mati dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun), yang mencerminkan sistem demokrasi kekerabatan orang batak. Dalihan dapat diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang sama.

Ada tiga (3) Posisi Penting dalam sistem kekerabatan orang Batak, yaitu:
1. HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di atas”, yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut Somba-Somba Marhula Hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
2. DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga sehingga disebut Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
3. BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut Elek Marboru artinya "berbaik-baik dengan keluarga perempuan"  agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.

Setiap orang batak PASTI memiliki dan pernah berada di salah satu posisi itu. Jadi Dalihan Na Tolu bukanlah kasta; ada saatnya seseorang  menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Jendral berbintang 4 harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Lurah. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Walaupun prakteknya sekarang, mana ada jendral bintang 4 cuci piring di pesta.

Culture-crash atau konflik budaya juga sering terjadi karena konsep demokrasi ini. Saya misalnya, akan berargumentasi dengan Tulang saya (Catat; hula-hula) kalau saya tidak setuju akan sesuatu. Jaman dulu hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Tapi filosofi luar biasa itu dimengerti maknanya oleh orang batak dengan beberapa penyesuaian sesuai jaman tentunya.

Beberapa dekade setelah perjalanan spiritual pertama ke tanah leluhur itu, saya baru mengerti bahwa ayah saya mengajarkan anak-anaknya untuk mengenal dan bangga pada leluhurnya karena dari orang-orang kampung yang sederhana itu dilahirkan banyak Pemimpin, Hakim, Jendral, Profesor Sejarah, Dokter, Pengacara, Diplomat, Sastrawan, dan tentunya juga Supir, Tukang Tambal Ban dan Petani. Sampai ia mati, Ayah saya tetap mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai orang-orang miskin dan udik yang tidak seberuntung kami, yang so called “saudara seleluhur” itu dan tentunya bersyukur dengan semua kelebihan yang kami peroleh.

By: Tika Sinaga

Sunday, November 11, 2007

Belajar Menghadapi Kematian

           "While I thought that I was learning how to live, I have been learning how to die."~~ Leonardo Da Vinci

“Ketika saya pikir  saya sedang belajar menjalani kehidupan, sebenarnya saya juga sedang belajar menghadapi kematian”, demikian kutipan seniman terkenal Leonardo Da Vinci. Da Vinci hendak mengatakan bahwa kematian dan kehidupan adalah dua hal yang setiap manusia pasti akan pelajari secara alamiah. Kematian tidak lebih dari sebuah kepastian yang menjadi bagian  kehidupan.

Saya baru melepas  sepupu kandung saya ke peristirahatannya terakhir, kamis  kemarin. Bram Mozarto namanya. Lelaki lajang  berusia 37 tahun itu,  kurang lebih 24 tahun lamanya  berjuang melawan  penyakit yang ia derita sejak ia terdeteksi memiliki kelainan pada levernya di usia 13 tahun. Hampir seumur hidup saya, saya mengenal sepupu yang satu ini selalu dengan berita sakit atau masuk rumah sakit. Ribuan kali panas tinggi dan demam, ratusan  liter muntah darah, ratusan kali keluar masuk rumah sakit, biaya-biaya pengobatan yang menguras harta, pikiran  dan energi seluruh keluarganya. Selama 24 tahun  sejak deteksi pertama pada usia 13 itu levernya mengeras se-mili demi se-mili hingga menutupi sekitar 85 % hatinya. Cirrhosis itu berubah menjadi kanker yang menggerogoti setiap centimeter tubuhnya hingga ke otaknya. Yup, 23 tahun lamanya. Sebuah proses yang panjang. Ada masa-masa  ketika penyakit itu seolah hilang dan ia bersemangat menjalankan aktivitas-aktivitasnya, sebelum kemudian semuanya  akan kembali ke titik awal, panas tinggi, demam, muntah darah, masuk rumah sakit, keluar rumah sakit, demikian berulang ulang. Aktivitas apapun yang dimulainya selalu terhenti ditengah jalan karena masa-masa berat dari penyakit itu datang silih berganti. Sangkin seringnya ia masuk Rumah Sakit, teman dan kerabat sudah tidak membesuknya lagi.

            “Ahirnya….”, demikian ibunya membisikkannya ke telinga saya ketika saya memeluknya dihadapan tubuh anaknya yang terbujur kaku dalam peti mati berukir di rumah duka RS Cikini. Saya mengerti maksudnya. “Akhirnya penderitaannya berakhir….” Atau  “akhirnya penderitaan seluruh keluarga berakhir…’.  Belakangan, ibunya sudah tidak lagi berdoa untuk kesembuhannya. “Aku berdoa, kalau ia dipanggil Tuhan, tolong panggil ia dalam tidurnya, supaya ia tidak kesakitan”, demikian ibunya bercerita pada saya. Dan ia memang dipanggil dalam tidurnya, dengan  dikelilingi seluruh keluarga. Ia menghadapi kematiannya dengan berani karena sudah dinantikannya begitu lama. Ia sadar betul bahwa ujung dari  penyakit itu adalah kematian. Kematian menjadi sebuah proses yang dijalani dan ditunggu. Keterus-terangan dokter dan keluarga padanya atas resiko penyakit ini juga sudah ia dengar langsung.

Saya sangat mengerti jika dibalik semua airmata itu, ada kelegaan dan ucapan syukur atas berakhirnya semua itu.  Penderitaan 6 bulan  terakhirnya sangat menyiksa siapapun yang melihatnya. Teriakan dan keluhan  kesakitan ketika racun itu menjalar ke otaknya, tanpa disadari memberikan ujian  mental yang luar biasa bagi  orang-orang sekelilingnya. Kadang-kadang kejengkelannya pada situasi datang dan membuahkan amarah  namun memberikan rasa iba.

Misteri hidup yang luar biasa, 24 tahun dalam penantian ajal. Mengapa harus 24 tahun?  Seperti Da Vinci katakan di atas, kematian adalah sebuah learning process, meskipun untuk banyak orang kedatangannya tiba-tiba tanpa tanda apapun, namun  untuk Bram Mozarto, sepupu saya, kematian adalah sebuah penantian yang panjang. Ia pasti sedang senyum-senyum melihat mata-mata keluarganya yang masih sembab karena airmata. Saya bayangkan ia mengatakan : ”semua pasti dapat giliran…..”

Saya berharap kematian ini adalah titik balik bagi seluruh keluarga untuk mengisi banyak lubang yang hilang selama 24 tahun.

“Kalau aku mati nanti,  Tuhan, panggil aku tiba-tiba, jangan dengan penantian panjang seperti Bram Mozarto”, itu mungkin doa saya.

Saturday, January 20, 2007

“Agama Baru atau Merek Dagang Baru?"; Membedah “The Secret”, Rhonda Byrne

Ketika ditelurusuri dengan seksama banyak komponen dalam buku “The Secret” bertentangan dengan konsep teologi konvensional yang mengenal Tuhan sebagai kekuatan tunggal dengan segala ke “Maha-an” Nya.. Untuk itu buku ini harus dibaca dengan bijak sebagai sebuah referensi populer walau banyak orang berfikir ini adalah  “kekuatan baru” bahkan “agama baru”. Sama seperti ketika anda membaca pikiran-pikiran Mussolini, anda tidak harus menjadi seorang facist karenanya atau pikiran-pikiran Lenin tidak harus membuat anda menjadi seorang komunis.

Saya duduk di kelas 6 SD pertama kali saya membaca sebuah buku yang saya “curi” dari lemari ayah saya berjudul “You Can If You think You Can”, karya Dr. Norman Vincent Peale. Itu sekitar 28 tahun yang lalu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1959, dan pada saat pertama kali saya  membacanya, sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku itu adalah lanjutan dari buku “The Power of Positive Thinking” yang juga ditulis oleh Peale pada tahun 1952. Pertama kali membacanya tentu pikiran kanak-kanak saya tidak dapat mengerti banyak hal, akan tetapi contoh-contoh kasus dalam buku itu saya baca seperti membaca sebuah cerita, dan satu hal yang tertangkap lewat pikiran sederhana saya pada waktu itu adalah :”tak ada yang tak mungkin, saya pasti bisa jika saya berpikir saya bisa,”

Buku Peale itu sangat mempengaruhi hidup saya dan telah puluhan kali saya baca termasuk versi bahasa Inggrisnya. Dalam keadaan paling sulit dan tertekan, saya akan selalu teringat pada buku itu dan berusaha men-switch pikiran-pikiran negatif saya ke pikiran positif dengan kalimat “I can do this, yes I can, I know I can”.  Norman Peale mengajar saya untuk mengundang elemen positif dalam keadaan paling negatif tanpa mencederai konsep teologi yang saya anut. Buku-buku Norman Peale sampai hari ini masih dicetak dan saya sendiri sering mengutipnya dalam seminar/pelatihan management yang saya bawakan.

Tahun 2006, Buku “The Secret” karangan Rhonda Byrne, datang dan memberikan sebuah fenomena baru di Amerika, bahkan dunia dan Indonesia. Buku dan VCD-nya yang menjadi best seller itu banyak dicari orang. Saya termasuk yang menelaah buku ini, membaca versi bahasa Indonesia dan Inggrisnya, serta menonton VCD-nya. Tidak seperti buku Norman Peale di atas, “The Secret” meraih pembacanya dengan pendekatan spiritual mendalam. Buku ini akhirnya mengundang banyak pro-kontra dan kelompok konvensional terutama theologian menganggapnya sebagai “New Age Religion”, karena dianggap memiliki pertentangan dengan konsep “God is Creator”, Tuhan adalah Pencipta.

Rhonda Byrne melukisan “The Secret” sebagai nama lain dari "the law of attraction" atau “hukum tarik-menarik”. “Think good thoughts, and good things will come your way. Conversely, if your life is filled with troubles, it's because of your negative thoughts”, kata Byrne. "Pikirkan hal-hal yang baik dan hal-hal baik akan datang kepadamu. Sebaliknya, jika hidupmu penuh dengan permasalahan, itu adalah karena pikiran-pirkiran negatif-mu”. 

“Your thoughts are powerful, and if you harness them properly they will bring you health, wealth, a better job anything you want” . “Pikiran-pikiranmu adalah kekuatan yang dahsyat, dan jika engkau mempergunakannya dengan benar, pikiran-pikiranmu itu akan membawamu pada kesehatan, kekayaan, pekerjaan bagus dan apapun yang engkau inginkan”. 

Sampai disitu Byrne masih sejalan dengan Norman Peale dan orang-orang beraliran konvensional, yang berbicara mengenai positivisme versus negativisme, sebelum beberapa hal berikut yang membuat banyak dahi berkerut. Berikut saya kutip dari versi bahasa Inggrisnya;
“You are God in a physical body. ... You are perfection. You are magnificence. You are the creator, and you are creating the creation of you on this planet”. "Engkau adalah Tuhan dalam wujud fisik tubuhmu, engkau adalah kesempurnaan. Engkau adalah ke-luar-biasa-an. Engkau adalah pencipta, dan engkaulah yang menciptakan segala penciptaan di atas planet ini”

"You are the creator of you, and the law of attraction is your magnificent tool to create whatever you want in your life," “Engkau adalah pencipta dari dirimu, hukum tarik-menarik adalah alat dahsyat untuk menciptakan apapun yang engkau inginkan dalam hidupmu”

Tak ada hal baru dalam buku “The Secret” selain terminologi “The Secret” dan gambaran Byrne mengenai mudahnya mewujudkan mimpi-mimpi kita. “The Secret” memberikan solusi atas semua problem dengan kekayaan, pekerjaan bagus, dan jodoh lewat “the law of attraction”, hukum tarik-menarik.  Padahal untuk saya   dan banyak orang, pada kenyataannya,  men-switch pikiran negatif menjadi positif saja sudah menjadi pekerjaan yang tidak mudah.

Terlepas dari banyaknya konsep dalam buku “The Secret” yang membuat para theologian marah atau “the conventional believer” mencibir, Rhonda Byrne memang membuktikan mampu menggebrak dunia dengan “merek dagang” “The Secret” yang ia klaim sebagai sebuah “penemuan” atas sebuah proses pencaharian kekuatan spiritual dalam setiap diri individu. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi kaum conventional theologian untuk menjaga komunitas mereka dengan pendekatan spiritual lebih dahsyat dari “The Secret”.
 
Saya, sekali lagi menyikapi “The Secret” seperti membaca sebuah buku mengenai “positivisme versus negativisme” yang sangat sederhana. As simple as that! Dan penemuan atas kekuatan pikiran positif lewat buku Norman Vincent Peale, 29 tahun yang silam, tetap saya anggap sebagai penemuan pertama saya atas “kekuatan pikiran positif”.
 
Untuk saya, pikiran-pikiran positif akan membantu semua orang untuk mencapai hal-hal besar. Sure! Akan tetapi bukan berarti kita dapat berharap segala sesuatunya dapat dicapai secara “magis” seperti yang tersirat dalam “The Secret”. 

             Anda sendiri bagaimana?

Tuesday, October 10, 2006

"Saya Orang batak" , Sebuah Perspektif

Saya mendapatkan respon atas tulisan saya berjudul “Jika Anda Orang Batak, Katakan Pada Anak Anda Dia Orang Batak”. Tulisan itu jujur sebuah perspektif pribadi dari pengalaman pribadi. Saya berharap tidak menyinggung siapapun. Kalau dibaca teliti, tulisan itu sebenarnya tidak mendorong semua orang yang masuk dalam kategori Antropologi sebagai “Suku Bangsa Batak” untuk menyebut diri mereka “orang batak”. Tulisan itu menyarankan agar mereka (yang merasa) “orang batak” memberitahu anak-anak mereka bahwa mereka “orang batak”. Tak ada gunanya berdebat jika anda bukan orang batak atau merasa bukan orang batak. Saya coba ulas semua masukan yang saya terima .

Jonson Tarigan, sahabat saya yang sedang mengambil S3 di New York, dan selalu menyebut dirinya “orang batak” dalam emailnya mengatakan: “gejala sosial budaya Batak urban yang kau gambarkan di blog mu itu dalam konteks yang hampir sama sudah jadi indikator perpecahan bangsa batak sejak jaman nenek moyang kita. Sub-kultur yang satu mengatakan berbeda dari lainnya, atau merasa lebih unggul dari lainnya, dan menganggap lebih pimitif yang lainnya. Di kampungku, sebutan orang Batak itu ya hanya untuk orang Toba.”

Ita Damanik, sahabat saya semasa kuliah di S1 merespon singkat: “I am Batak, Batak Simalungun!” Sementara sahabat lain mengatakan: “tanah leluhurku, tanah Simalungun, bukan tanah batak!. Arimbi Nasution, sahabat “french club” saya yang berjilbab itu mengatakan: “Aku tak pernah tahu ada, sebutan lain selain “orang Batak”. Aku orang Batak Mandailing.

Inangtua (Tante) saya yang br. Siregar (Orang Angkola), menjelaskan bahwa jaman nenek moyang dulu ada ejekan sinis diantara orang Angkola: “muda kayo, han sipirok, muda miskin han toba” artinya, “kalau kaya pasti dari Sipirok, kalau miskin pasti dari Toba.”.  “Ketika banyak sastrawan Batak Selatan seperti Madong Lubis, Mochtar Lubis atau ilmuwan Dr. Diapari Siregar sudah mahsyur pada masa penjajahan, banyak orang Batak dulu mengaku orang Selatan.”, kata Inangtua yang berusia 70-an dan lahir di Jakarta itu. "Interesting!", pikir saya.

Saya juga mendapat beberapa email panjang lebar yang tidak dengan blak-blakan mengatakan “kami bukan orang Batak”, tapi dengan kesimpulan pendek mengatakan bahwa sebutan “orang Batak” itu hanya untuk orang Batak Toba. Email lain mengatakan, bahwa hanya orang Tapanuli saja yang disebut “orang batak” dan orang non-Tapanuli tidak menyebut diri mereka “orang Batak”. Sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa memang sudah ada perbedaan perspektif (non-ilmiah) diantara kelompok masyarakat Suku Bangsa Batak. Indikasinya, panggilan “batak” mengacu pada sub-kultur batak Toba, yang konotasinya dimata sub-kultur lain adalah “batak tulen”.

Akhirnya saya melihat bahwa krisis identitas orang batak menjadi indikator perpecahan suku bangsa batak  yang nota bene sudah ada sejak jaman ompung-ompung kita. Orang-orang Batak yang mengalami krisis identitas itu ada disekitar kita. Mengenali dan meng-identifikasinya sangat mudah; ciri-ciri mereka adalah; tidak mengakui identitas batak, menghilangkan marga, menjauh dari komunitas dan budaya batak, berpura-pura tidak dapat berbahasa batak (walaupun pasti banyak yang seperti saya, tidak berbahasa batak secara aktif), mengatakan dirinya sudah “sangat jawa”, “sangat sunda”, “sangat barat”, “sangat manado”, sudah berpendididikan asing, tidak pernah tahu kampung halaman, dsb. Mereka takut terkonotasi dengan persepsi peradaban terbelakang sebagai orang “batak tulen“. Takut disebut  "orang batak tembak langsung'. They are around you and me.

Tanah Batak Tanah Leluhur
Saya menyebut tanah leluhur saya adalah Samosir, karena betapa luasnya Tanah Batak. Menurut Tarombo (silsilah) Marga Sinaga, Saya adalah generasi ke-17 Marga Sinaga, dihitung dari tokoh bernama Raja Toga Sinaga (Sinaga Pertama), hidup sekitar abad ke 15. Sebagian besar buyut kandung saya dikubur di Samosir, sebagian lagi dikubur dan beranak pinak hingga hari ini di Tanah Simalungun, berserak dari Siantar hingga Tanah Jawa atau keluar Sumatra. (Yupp, ada Tanah Jawa di Tanah Simalungun). Sepupu-sepupu saya di Simalungun itu (ada yang sudah mencapai generasi ke 22) sebagian besar beragama Islam.

Lalu, mengapa disebut Tanah Batak? Dimana itu? Bagaimana Sejarahnya ?

Tanah Batak
Pusuk Buhit di Tapanuli (Tapanuli kemudian mekar menjadi beberapa kabupaten) dipercaya sebagai tempat awal Suku Bangsa Batak pertama yang beranak pinak pada sekitar abad 13. Pemerintah Belanda menamakan wilayah itu sebagai Centraal Batakland yang artinya Tanah Pusat Suku Bangsa Batak atau Tanah Batak atau Tano Batak (Lance Castle, “Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli, 1970).
Suku bangsa Batak secara geografis melakukan penyebaran dan berserak pada wilayah-wilayah tertentu dan menjadi “Tuan Tanah” atau “Landlord “ atas tanah-tanah kediaman mereka tersebut. Pemujaan atas tanah-tanah mulia itu dikenal lewat sebutan Tanah Simalungun, Tanah Karo, Tanah Mandailing. Beberapa literature menjelaskan sejumlah hasil penelitian Genealogi (asal-usul) yang menunjukkan, terjadinya migrasi orang Batak secara konsisten yang berawal dari sekitar Danau Toba (Lance Castle, “Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli, 1970).

Tiga tahun belakangan  ini saya addicted mempelajari buku-buku dan literature yang ditulis oleh Anthropologist, Sociologist, Linguist dan beberapa budayawan mengenai Suku Bangsa Batak, 1 dari 19 peta suku bangsa terbesar di Indonesia yang penggolongannya didasarkan pada lingkaran hukum adat yang dibuat oleh Van Vollenhoven (B. Ter Haar, Adat Law in Indonesia, New York, New York Institute of Pacific Relations, 1984).

Saya juga mempelajari Tarombo (Silsilah), mulai Tarombo Si Raja Batak, yang dipercaya orang Batak sebagai cikal bakal Suku Bangsa Batak), serta beberapa Tarombo Marga. Saya tidak berniat untuk memperdebatkan apa yang sudah ditulis dan sudah di-research selama beratus tahun oleh para Anthropologist, Linguist dan Sociologist, Missionarist terdahulu. Mungkin perlu 20 tahun tambahan, plus 10 orang profesor dan sekitar 100 team, untuk secara Anthropology, Genealogy, Ethnology, Sociology, Linguistic, Socio-Linguistic, meneliti ulang asal-usul orang batak, penyebarannya secara geografis, ekonomis, sosiologis, menelaah tingkah laku sosial- budaya-linguistik mereka, menetapkan measurement parameter serta menarik kesimpulan atas siapa yang disebut “suku bangsa Batak”. Jadi saya ambil dari literature yang sudah ada saja.

Siapakah orang Batak? Who are they?

Definisi “Orang Batak”
Pada perspektif saya, pada saat ini ada 2 definisi “orang Batak”;
1. Mereka yang menurut Antropologi termasuk Suku Bangsa Batak (Definisi ilmiah)
2. Mereka yang mengaku/merasa Orang Batak (Definisi bukan ilmiah)
Jadi jika saya katakan “saya orang Batak”, itu adalah karena berdasarkan definisi ilmiah dan bukan ilmiah, saya tergolong orang Batak.

Suku Bangsa Batak
Antropologi mengenal “Batak ethnic group” atau “suku bangsa Batak” sebagai suku bangsa yang secara geografis berasal/mendiami wilayah-wilayah yang mereka sebut sebagai “tanah” (“land”) itu, dengan 5 sub-culture atau sub-ethnic Group sbb:

5 sub-ethnic group atau sub-culture Suku Bangsa Batak ;
* Batak Mandailing, mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukotanya Padang Sidempuan) dan sekitarnya. Lokasinya dekat dengan Sumatera Barat.
* Batak Toba mendiami wilayah yang mencakup Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.
* Batak Karo mendiami Kabupaten Karo yang lokasinya sudah dekat dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, khususnya kabupaten Aceh Tenggara.
* Batak Simalungun mendiami wilayah Kabupaten Simalungun dan sekitarnya
* Batak Pakpak mendiami wilayah Kabupaten Dairi dan sekitarnya

Jadi sah-sah saja jika kemudian kelima sub-kultur didalam kesuku-bangsaan Batak itu mengatakan diri mereka atau menyebut sub-kultur satu dengan lainnya sebagai Orang Mandailing, Orang Toba, Orang Karo, Orang Simalungun, atau Orang Pakpak atau bahkan terdefinisikan oleh kotak-kotak sub-sub-kultur lebih kecil berdasarkan kelompok klan/marga sebagai Orang Angkola atau Orang Selatan atau Orang Samosir (Par Samosir), orang Si Lindung (Par Silindung), Orang Balige (Par Balige). Orang-orang batak ini juga sudah kawin-mawin antar sub-culture dan berserak ke seluruh penjuru dunia.

Lalu apakah artinya kita bukan berakar dari satu rumpun Suku Bangsa Batak? Kita Bukan orang Batak?
“Indikator perpecahan suku bangsa batak sudah ada sejak jaman nenek moyang”, kata Jonson Tarigan sahabat saya.

Sesama orang Jawa memperkenalkan diri mereka dengan identitas orang Solo, orang Yogja, orang Suroboyo, orang Cirebon. Tetapi bukan berarti mereka bukan orang Jawa. Mereka juga sering menekankan kata Jawa didepan daerah asalnya. “Aku Jawa Cirebon!”. Betapapun berbedanya budaya Cirebon dengan budaya Solo, dan budaya Jawa Timur dengan Tengah, mereka tetap “Wong Jowo”

Identifikasi “Saya orang Batak” akan saya katakan jika lawan bicara saya sesama orang Indonesia menanyakan asal kesukuan saya. Bukan untuk pemujaan kesukuan/etnosentris. Ketika ditanyakan oleh sesama orang batak, tentu saya akan mengatakan: “oh, Opungku orang Samosir, pulau ditengah Danau Toba, tepatnya Lontung dimana rumah opungku berdiri hingga hari ini sejak tahun 1880-an.”

But again, it is my perspective! Perspektif yang mungkin dilihat oleh sesama orang yang merasa “orang Batak” dimanapun dan dari wilayah geografis manapun mereka berasal. Tentunya harus dengan spirit “kita punya banyak kesamaan” dan bukannya spirit “kita punya beberapa perbedaan”. Saya sama sekali tidak berniat untuk mempermasalahkan perspektif sebagian orang yang menganggap bahwa rumpun suku bangsanya bukanlah Suku Bangsa Batak. Berbeda? It’s OK aja!

Reference:
1. B. Ter haar, Adat Law in Indonesia, New York, New York Institute of Pacific Relations, 1984
2. Bruce Warner, Missions as Advocate of Cultural Change Among the Batak People of Sumatra, MA Miss, 1972
3. Harahap. E St., Perihal Bangsa Batak: Bagian Bahasa. Jawatan Kebudayaan, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1960
4. Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli, Grafika 1970
5. Lehmann, Martin E., Bibliographical Study of Ingwer Ludwig Nommensen (1834-1918), Pioneer Missionary to the Bataks of Sumatra, London Publisher,1996
6. Joustra, M., Karo-Bataks Woordenboek. Leiden, Brill, 1907. (English Version), 1970
7. Drs. Richard Sinaga, Leluhur Marga-Marga Batak Dalam Sejarah Silsilah dan Legenda, Dian Utama, Cetakan ke-2, Jakarta, 1997
8. Baharuddin Aritonang, Orang Batak Naik Haji, Gramedia, 2002
9. Harahap M.D., Adat Istiadat Tapanuli Selatan, Rafindo Utama, Jakarta.
10. Harahap B. Hamidi. 1979. Jalur Migrasi Orang Purba di Tapanuli Selatan. Majalah Selecta no. 917.
11. Paul Radin, Primitive Man as Philosopher, London British Museum, 1980
12. Hutagalung, W.M., Tarombo Dohot Turi-Turian Ni Bangso Batak, Tulus Jaya, Jakarta, 1990
13. Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya, Grafindo, Jakarta, 1982
14. Team Anjungan Sumut, Tarombo Si Raja Batak, Media Taman Mini Indonesia Indah, 1991
15. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Rineka Cipta 1996
This writing is dedicated to: Gorga Hosa Deo Sinaga and Tondi Halomoan Raja Sinaga, those young men, my nephews who might have not been told that they are orang Batak (Just Maybe)

Tulisan saya ini Ditemukan kembali di http://www.silaban.net/2008/03/03/saya-orang-batak-sebuah-perspektif/  (So,Thank you untuk Silaban brothers yang mempublikasikan tulisan saya ini sehingga dapat saya ambil kembali ketika blog saya hilang; Thank you juga untuk semua tanggapan di Silaban Brothers website)
Source yang hilang: Tika Sinaga’s Blog, http://blog.360.yahoo.com/blog-0kb4Q7Qlcq36EgLyeJr0.fJR?p=17

Friday, October 6, 2006

Jika Anda Orang batak, Katakan Pada Anak-anak Anda Mereka Orang Batak

Children should be encouraged to take pride in their ethnic heritage, thereby boosting self-esteem.” (DeHart, Sroufe, & Cooper, Child development: Its nature and course. Boston: McGraw Hill, 2000). “Anak-anak harus didorong untuk bangga pada asal-usul etnis mereka sehingga mampu mendongkrak rasa bangga dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri

Weekend lalu saya diperkenalkan si Bungsu adik saya pada teman barunya. Si Bungsu ini “anak gaul”, temannya banyak, sehingga kerap kali ia membawa teman baru ke rumah. Biasanya si Bungsu akan memperkenalkan nama temannya dan saya akan melanjutkannya dengan pertanyaan-pertanyaan standard seperti “tinggal dimana”, “sekolah dimana”, “kenal si bungsu dimana?”, “ayah ibu kerja dimana” dll. Kadang pertanyaan-pertanyaan itu saya akhiri dengan pertanyaan dari mana dia berasal. Teman baru si Bungsu yang usianya tidak lebih dari 20-21 tahun ini misalnya, karena wajahnya yang Ganteng, bulu matanya luar biasa bagus, kulit bersih dan tubuh atletis, saya jadi ingin tahu dari mana dia berasal.

Kamu orang apa sih, Dek?”, tanya saya ingin tahu.

Orang Jakarta, Kak”, katanya.

Kita semua orang Jakarta karena kita tinggal atau lahir di Jakarta. Maksud Kakak, kamu berasal dari suku apa”, lanjut saya.

ohhhh”, katanya seolah baru sadar salah menjawab. Saya yakin dia sebenarnya mengerti maksud saya. “Orang Sumatra, Kak”, jawab si ganteng. Saya mulai agak hilang kesabaran.

Dek, kamu tidak belajar pengantar Antropologi waktu semester satu yah? Kan Sumatra itu bukan suku bangsa, jadi enggak ada istilah saya orang Sumatra. Kok susah amat kau menjawab pertanyaan Kakak? Kamu nih ganteng dan oon yah”, lanjut saya. Si Ganteng tertawa.

Orang Medan deh, Kak”, ralatnya, gelisah. Mukanya agak bingung atau pura-pura bingung.

Si Bungsu yang tahu betul maksud saya langsung menimpali dengan wajah tidak sabar: “Lu ngomong sama Kakak gue yang bener, bilang aja lo orang Batak gitu, susah amat sih guoblog lo…. Dia ini Siregar, Kak, gak ngaku Batak! Ibunya Batak, juga, Simanjuntak.” “Waktu ketemu pertama kali juga ‘gitu’ Kak, bertele-tele waktu ditanya orang apa”, lanjut si Bungsu. “Mandi masih pake air asin, tinggal di gang sempit aja udah gak ngaku orang Batak lu..!”, lanjut si Bungsu berseloroh. Mereka tertawa terbahak. Semoga si Ganteng belajar sedikit hari itu mengenai siapa dia.

Saya bangga pada si Bungsu karena diusianya yang muda ia tidak pernah ragu mengatakan “Saya orang Batak”. Si Bungsu adalah tipikal remaja metropolitan “produk MTV” yang selalu kami khawatirkan agak menganut faham hedonis dan sangat ter-westernisasi. Sejak usia 5 tahun dia sudah ‘ngerti’ apa itu “luar negri”.

Saya juga bangga pada ayah saya yang sebagian hidupnya dihabiskan di Semarang, dan sampai akhir hidupnya selalu membaca karya-karya sastra cukup tinggi dari Rendra, Sapardi Joko Damono, hingga Ernest Hemingway itu, tetapi ia tetap mengajarkan anak-anaknya untuk bangga pada asal-usul kami. “Never be ashamed to tell people who you are. You are orang Batak”, demikian ayah saya yang berbahasa Inggris, Belanda dan Jawa itu selalu mengatakan.

Pengajaran ayah saya itu menanamkan concious saya untuk tidak pernah ragu mengatakan “saya orang Batak” ketika asal-usul saya ditanyakan dimanapun saya berada, di Danau Toba yang keras, di Yogja yang lunak maupun di Paris, London atau New York yang sophisticated, ketika saya bertemu dengan orang Indonesia disana. Bahkan ketika saya sudah menyebut diri saya sebagai  “a global citizen”. “Saya Orang Batak”. Clear! Tanpa embel-embel “tapi saya lama tinggal di Singapore”, atau “tapi saya sudah tidak bisa bahasa Batak”, atau “ tetapi saya lahir di Jakarta” atau “tapi saya orang Mandailing”. Kata “tetapi” itu adalah satu dari seribu excuses yang dipakai oleh banyak orang Batak untuk mengatakan bahwa ia berbeda dari stereotype orang Batak yang terbentuk di masyarakat. Kira-kira artinya adalah, saya memang orang batak, “tetapi saya sudah berbudaya", "sudah tidak ‘barbaric’".  Saya sudah tidak makan orang lagi!”.

Menjadi orang Batak berarti terperangkap dalam konotasi negatif stereotype yang terbentuk lewat penggambaran karakter yang kasar, keras, tempered, agresif, tukang-berantem, nyali preman, gaya bicara teriak-teriak, volume suara keras, belum lagi stereotype fisik rahang bersegi, mata tajam, tubuh lebih sering tebal dan profesi yang dihubungkan dengan pencopet, supir metromini ugal-ugalan, preman, petinju kasar, pecatur suntuk, inang-inang pedagang Pasar Inpres Senen, atau penyelundup Tanjung Periuk.

Konotasi negatif inilah yang sering kali membuat banyak keluarga Batak tanpa sengaja tidak menanamkan “rasa bangga” akan asal-usul mereka pada anak-anak mereka seperti si Ganteng teman adik saya tadi, yang jelas sekali sangat berat mengatakan “saya orang Batak”, dan berkilah mengatakan dirinya “Orang Jakarta”, “orang Sumatra” dan “orang Medan”. Konotasi negatif itu juga sering membuat Orang Batak bangga jika dikatakan “tidak kelihatan Batak”, “tidak kentara Bataknya”, apa lagi kalau sudah agak “kaya” sedikit atau kenal luar negeri, sudah tidak mau terafiliasi dengan apapun yang berbau Batak. Kalau bisa jangan ‘ngaku’ orang batak. Seorang artis berdarah batak malah mendapatkan nama ”Cut “ dari ayahnya untuk menggelapkan asal-usulnya. Menyedihkan!

Konotasi negatif di atas tidak akan pernah hilang jika setiap keluarga Batak memilih untuk menanggalkan identitas anak-anak mereka, menghilangkan marga mereka dari nama-nama mereka, “menggelapkan” asal-usul mereka dengan istilah “orang Medan”, “orang Sumatra” atau “orang Jakarta” (dia pikir cuma dia yang lahir di Jakarta), serta tidak memberikan pengajaran betapa pentingnya mengenal akar dan asal-usul budaya sendiri sebelum mampu mengenal dan mencintai budaya-budaya lain, bahkan sebelum mampu menikmati Beethoven Symphony No 9. Jadi jangan bilang anda penikmat budaya jika asal-usul suku bangsa andapun tidak anda akui.
Menanamkan kebanggaan atas asal-usul pada anak-anak kita itu bukan untuk tujuan pengkultusan superioritas kesukuan atau ethnocentrism, akan tetapi penghargaan terhadap budaya, etnik, identitas dan asal-usul itu. Kebanggaan dan penghargaan itu akan memberikan “sense of belonging” atas kelanjutan sebuah nilai budaya yang menjadi pondasi untuk membangun diri sendiri. Kelak tentunya membangun lingkungan dimana dia berada.
Red Wolf seorang pejuang dan budayawan Indian, Native American dalam beberapa bukunya mengatakan: “The Native Indian passed their culture and tradition down from generation to generation from memory, not from a notepad or book. Therefore, if your Mother, Grandmother, Father or Grandfather told you or your family that you are of Indian blood, you are Indian”. Saya terpesona dengan tulisannya itu. Katanya: “ Orang Indian mewariskan budaya dan tradisi mereka dari generasi ke generasi lewat ingatan, bukan lewat catatan dan buku, jadi jika ibu, nenek, ayah atau kakekmu mengatakan bahwa engkau berdarah Indian, maka engkau adalah Indian”.

Saya implementasikan dengan bebas kalimat di atas ke dalam tulisan saya ini sebagai: “Jika engkau orang Batak, katakan pada anak-anakmu bahwa mereka adalah orang Batak”.

Penulis : Tika Sinaga

Thursday, August 10, 2006

Ambisi, Obsesi, Impian: Keliru Budaya Atau Keliru Bahasa?

Orang Indonesia pada umumnya paling alergi jika ditanyakan mengenai ambisi mereka. Ketika  saya bertanya kepada 2 orang mahasiswa yang juga Entrepreneur UKM, apa ambisi mereka atas perusahaan yang mereka miliki dalam 5 tahun mendatang. “Boro-boro ambisi, bu, bayar karyawan saja masih berdarah-darah”, jawab salah seorang diantaranya sambil tertawa-tawa, menghindari keseriusan dalam menjawab pertanyaaan saya. Yang kedua malah hanya menyeringai, lelet berpikir.

8 dari 10 kandidat Manager yang pernah saya interview dalam proses rekrutmen selalu gelagapan jika saya tanyakan apa ambisi pribadi mereka dalam 5 tahun mendatang. Apalagi jika bahasa Inggris mereka amburadul, lebih double lah enggak mudengnya akan makna kata “ambisi” yang berasal dari bahasa Inggris “ambition” itu. Biasanya mereka akan menjawab sambil cengengesan: “Saya tidak punya ambisi yang muluk-muluk, jadi go with the flow saja”. Rasanya kepingin saya jewer kupingnya. Terasa sekali resistensi atas pertanyaan itu. Jika si kandidat kelihatan cerdas dan asertif, saya dengan suka rela akan menerangkan makna kata “ambisi” dan mengkuliahinya sedikit dengan encouragement bahwa setiap orang apalagi seorang manager profesional harus punya komponen ambisi dalam otak mereka. Kalau kandidat yang saya interview kelihatannya klemar-klemer, biasanya langsung saya eliminir saja dari list interview saya. Klemar-klemer dan tidak punya ambisi adalah sebuah kombinasi yang teramat buruk bagi seorang manager profesional.

Kata “ambisi” telanjur berkonotasi negatif atau lebih sering dipakai untuk menggambarkan situasi yang negatif dan sarkastik sebagi pengejaran atas kemahsyuran,  kekuasaan serta pencapaian tertentu. Entah “keliru Budaya” atau “keliru Bahasa” kah ini namanya? Keliru Budaya disini saya artikan sebagai terkukungnya kita dalam budaya “being humble” yang sempit, yang lebih dekat pada faham “kacungisme”; artinya menjadi asertif atau mengungkapkan ambisi-ambisi pribadi secara terbuka adalah hal yang tabu dan "tidak timur”. Keliru Bahasa saya artikan sebagai ke-salah-kaprah-an dalam menggunakan atau mengartikan sebuah makna kata yang nota bene berasal dari bahasa asing. 

Jadi, bolehkah dikatakan si Ahmad yang Office Boy itu berambisi menjadi supervisor OB, yang artinya bercita-cita mencapai “level of fame and power” sebagai Supervisor OB bahkan mungkin Manager House Keeping sebuah Hotel berbintang 5? 

Anehnya, orang Indonesia senang sekali dengan kata “Obsesi”. Sesekali coba anda lihat di TV khususnya infotainment. Media infotainment yang sering memulai keliru budaya dan bahasa, dengan ringan bertanya pada seorang artis muda berusia 16 tahun: “Obsesi apa yang ingin anda capai dalam 5 tahun ke depan?”. Si Artis pasti akan dengan lancar menjawab pertanyaan itu, “Saya kepingin umroh, kepingin kawin muda, kepingin main layar lebar” dsb. Orang Indonesia lebih nyaman dengan kata obsesi dari pada ambisi.

Let’s just open The Webster’s Dictionary

Definisi “ambition” atau "ambisi' menurut Webster:
  • A goal or objective that somebody is trying to achieve (Arah atau tujuan tertentu yang seseorang sedang coba capai)
  • A desire for success: a strong feeling of wanting to be successful in life and achieve great thing (Keinginan yang kuat untuk memperoleh kesuksesan dalam hidup dan mencapai hal-hal besar atau baik yang diinginkan)
  • Desire for exertion or activity; energy: (Keinginan yang kuat untuk melakukan aktivitas tertentu, semisal: Ambisi untuk diet, mendaki Himalaya, atau kembali kuliah)
  • An eager or strong desire to achieve something, such as fame or power.(Keinginan atau hasrat yang kuat untuk mencapai tingkat kemahsyuran dan kekuasaan tertentu)
Definisi “obsession” atau "obsesi" menurut Webster;
  • Compulsive preoccupation with a fixed idea or an unwanted feeling or emotion, often accompanied by symptoms of anxiety. (Penguasaan pikiran yang didorong oleh perasaan dan emosi yang memaksa atas ide/keinginan tertentu yang sering kali disertai dengan tanda-tanda kecemasan)
  • A compulsive, often unreasonable idea or emotion.(Hasrat /keinginan/ dorongan yang memaksa, kerap kali dengan keinginan atau emosi yang tidak beralasan)
  • An unwelcome, uncontrollable, and persistent idea, thought, image, or emotion that a person cannot help thinking even though it creates significant distress or anxiety. (Keinginan/ide/pikiran/bayangan/emosi yang tidak terkendali, sering datang dengan tidak dikehendaki atau mendesak masuk dalam pikiran seseorang yang mengakibatkan rasa tertekan dan cemas)
So, jika keinginan-keinginan anda masih berupa ide-ide yang mengawang-awang di kepala, berarti anda baru memiliki impian-impian

Jika anda melakukan perencanaan yang terstruktur atas impian-impian itu serta sedang berjalan memfokuskan energi dan pikiran anda untuk mencapainya, berarti anda sudah memiliki ambisi

Jika keinginan-keinginan atau impian-impian anda itu sudah mendominasi pikiran anda, sudah membuat tingkat emosional anda meluap-luap, sudah menguasai pikiran anda tanpa terkendalikan sampai anda kadang gugup memikirkannya, bahkan kadang dengan pengejaran membabi buta, berarti anda sudah terobsesi dengan keinginan-keinginan atau impian-impian itu. Disitu anda sudah berada di tahap memiliki obsesi.

Jadi, jangan takut dengan kata "ambisi", jangan pernah ragu menyusun dan mengungkapkan ambisi anda, dan sebaiknya hati-hati menggunakan kata “obsesi”. Salah-salah anda malah sedang memperlihatkan sisi gelap psikopat anda!