Siapa yang melihat Press Conference KPK kemarin, saat Abraham Samad, Ketua KPK mengumumkan penetapan Status tersangka Angelina Sondakh? Terlepas dari kehebatan KPK yang kelihatannya serius mengungkapkan kasus korupsi Wisma Atlet, tapi cara Samad memberikan Press Conference kemarin menjadi pembicaraan banyak pihak. Samad membawakannya dengan banyak senyum, mengarah ke senyam-senyum, bahkan dengan bercanda menyebutkan inisial tersangka AS dengan plesetan namanya (Abraham Samad). Mungkin waktu becandanya yang tidak tepat. Di Tweeter banyak orang menggambarkannya sikap Samad dalam Press Conference itu sebagai “terlalu ramah”, beberapa lebih keras sebagai bentuk "dagelan", bahkan “cengengesan.” Yang jelas, konferensi pers KPK kemarin kan pastinya memberikan kesedihan dan ketegangan juga pada sang tersangka dan keluarganya, jadi seyogyanya tidak dipleset-pelesetkan dalam bentuk canda-canda yang tidak terlalu lucu?
Nah, Ini pengalaman saya pribadi. Suatu hari seorang konsultan bule berkebangsaan Amerika yang kebetulan bekerja dengan saya mengeluh. Si bule baru beberapa hari tiba di Jakarta. Rupanya, setiap kali ia melakukan aktivitas ke Pantry atau photocopy/fax area, office boy disana selalu melihatnya sambil tersenyum (mungkin senyum-senyum). Si bule memakai istilah: “grin”, yang artinya kira-kira adalah menyeringai, atau cengar-cengir. “Why are the boys always smiling at me, Tika? They stare at me and smile or grin at me everytime I do something around them, which is about hundred times. Something wrong with me? Or is that because I look funny or ugly or what??”, tanya si Konsultan gelisah. Dengan suara setengah berbisik dia bertanya pada saya: ”Are they gay?”.
Saya harus menerangkan pada si bule mengenai Budaya Senyum (dan senyam-senyum) pada kebanyakan masyarakat Indonesia yang sering menjadi salah arti, dan tentunya juga memanggil semua office boy serta memberikan pengarahan mengenai kebiasaan senyam-senyum dan keramah-tamahan mereka yang membuahkan “tabrak budaya”. Bukan lagi “cross culture” tetapi “crash culture.”
Masih kisah nyata. Anda ingat Amrozi? Teroris Bom Bali yang menewaskan 202 orang itu? Suatu hari setelah ia ditangkap, foto Dai Bachtiar, (Kapolri waktu itu) yang sedang tersenyum bersalaman dengan Amrozi, muncul di seluruh headline surat kabar di banyak negara termasuk Australia. Kebetulan dalam peristiwa Bom Bali itu warga Australia lah yang paling banyak korbannya. Senyum sang Jendral dan Amrozi di foto itu konon bukan hanya sangat menyakiti hati seluruh keluarga korban, tapi juga membuat marah dan menjadi bahan cemoohan publik dan pejabat tinggi Australia. Mereka bingung mengapa Jendral Kapolri kita tersenyum pada teroris sadis yang dalam foto itu juga tampak cengengesan. Tokoh Oposisi yang juga Juru Bicara Kementrian Luar Negeri, Kevin Rudd waktu itu mengatakan: “I thought it would make all Australians feel physically sick that any person could laugh at the suffering, the pain, the torment and the death of hundreds of innocent Australians." "Publik Australia muak dan terheran heran kok ada orang bisa tertawa ditengah penderitaan dan keos atas begitu banyak kematian yang diakibatkan manusia itu", katanya. Pemimpin oposisi Simon Crean mengomentari dengan keras foto itu dan menyebutnya sebagai sebagai "bizarre and insensitive.” “Luar biasa aneh dan tidak sensitif.” Bahkan Perdana Mentri John Howard ikut berkomentar marah atas foto itu. Intinya adalah, senyum Amrozi dan Kapolri itu membuahkan ketegangan bilateral antara dua negara.
Senyum adalah ibadah. Setuju seratus persen. Segala sesuatu dimulai dengan sebuah senyum. Setuju juga. Senyum adalah bentuk sebuah pengharapan akan hal baik. Setuju juga! Lalu apa yang terjadi kalau “senyum” berubah menjadi sebuah “senyum-senyum”?
Nah, Ini pengalaman saya pribadi. Suatu hari seorang konsultan bule berkebangsaan Amerika yang kebetulan bekerja dengan saya mengeluh. Si bule baru beberapa hari tiba di Jakarta. Rupanya, setiap kali ia melakukan aktivitas ke Pantry atau photocopy/fax area, office boy disana selalu melihatnya sambil tersenyum (mungkin senyum-senyum). Si bule memakai istilah: “grin”, yang artinya kira-kira adalah menyeringai, atau cengar-cengir. “Why are the boys always smiling at me, Tika? They stare at me and smile or grin at me everytime I do something around them, which is about hundred times. Something wrong with me? Or is that because I look funny or ugly or what??”, tanya si Konsultan gelisah. Dengan suara setengah berbisik dia bertanya pada saya: ”Are they gay?”.
Saya harus menerangkan pada si bule mengenai Budaya Senyum (dan senyam-senyum) pada kebanyakan masyarakat Indonesia yang sering menjadi salah arti, dan tentunya juga memanggil semua office boy serta memberikan pengarahan mengenai kebiasaan senyam-senyum dan keramah-tamahan mereka yang membuahkan “tabrak budaya”. Bukan lagi “cross culture” tetapi “crash culture.”
Masih kisah nyata. Anda ingat Amrozi? Teroris Bom Bali yang menewaskan 202 orang itu? Suatu hari setelah ia ditangkap, foto Dai Bachtiar, (Kapolri waktu itu) yang sedang tersenyum bersalaman dengan Amrozi, muncul di seluruh headline surat kabar di banyak negara termasuk Australia. Kebetulan dalam peristiwa Bom Bali itu warga Australia lah yang paling banyak korbannya. Senyum sang Jendral dan Amrozi di foto itu konon bukan hanya sangat menyakiti hati seluruh keluarga korban, tapi juga membuat marah dan menjadi bahan cemoohan publik dan pejabat tinggi Australia. Mereka bingung mengapa Jendral Kapolri kita tersenyum pada teroris sadis yang dalam foto itu juga tampak cengengesan. Tokoh Oposisi yang juga Juru Bicara Kementrian Luar Negeri, Kevin Rudd waktu itu mengatakan: “I thought it would make all Australians feel physically sick that any person could laugh at the suffering, the pain, the torment and the death of hundreds of innocent Australians." "Publik Australia muak dan terheran heran kok ada orang bisa tertawa ditengah penderitaan dan keos atas begitu banyak kematian yang diakibatkan manusia itu", katanya. Pemimpin oposisi Simon Crean mengomentari dengan keras foto itu dan menyebutnya sebagai sebagai "bizarre and insensitive.” “Luar biasa aneh dan tidak sensitif.” Bahkan Perdana Mentri John Howard ikut berkomentar marah atas foto itu. Intinya adalah, senyum Amrozi dan Kapolri itu membuahkan ketegangan bilateral antara dua negara.
Senyum adalah ibadah. Setuju seratus persen. Segala sesuatu dimulai dengan sebuah senyum. Setuju juga. Senyum adalah bentuk sebuah pengharapan akan hal baik. Setuju juga! Lalu apa yang terjadi kalau “senyum” berubah menjadi sebuah “senyum-senyum”?
Senyum oleh para ahli dikatakan sebagai ekspresi wajah yang terjadi akibat bergeraknya atau timbulnya suatu gerakan di bibir atau kedua ujungnya, atau pula di sekitar mata. Umumnya senyum terjadi atau dilakukan untuk menampilkan kebahagian dan rasa senang. Senyum juga dapat dilihat sebagai produk budaya. Kata beberapa pakar budaya, ekspresi emosi dipengaruhi budaya
Tiga contoh di atas menunjukkan bahwa sebuah bentuk budaya seperti budaya senyum dapat saling bertabrakan dengan budaya manapun. Tidak melulu budaya asing dengan budaya lokal, bahkan diantara budaya budaya lokal itu sendiri. Kita tahu Indonesia memiliki ribuan suku dan bahasa daerah. Tentu, ragam budaya suku bangsa itu pun berbeda. Satu-sama lainnya, memiliki karakter khusus. Kita berasumsi bahwa kebanyakan orang Jawa, seperti Amrozi misalnya, dikenal sebagai suku yang lebih banyak tersenyum dibandingkan suku batak misalnya, namun kenyataanya Abraham Samad bukan orang jawa, dan kemarin ia banyak senyum. Kita juga berasumsi bahwa ekspresi perasaan bahagia, sedih, marah memiliki kesamaan pada banyak orang dimanapun, ternyata tidak. Kalau melihat senyam-senyumnya Saiful Jamil ketika membicarakan kematian istrinyapun, atau senyum Jendral Adang Daradjatun yang memberikan keterangan pers ketika istrinya Nunun tertangkap, kadang kita mengernyitkan kening.
Ray Birdwhistell (1963) seorang pakar human body motion memberikan sebuah hipotesis yang mengatakan bahwa tidak ada ekspresi yang memiliki arti universal. Semua gerakan itu adalah produk budaya, bukan diturunkan secara biologis. Saya pikir, kalau itu sebuah produk budaya, artinya dapat diteliti, dipelajari dan diperbaiki? Seperti memperbaiki budaya korupsi? Budaya asal bapak senang? Budaya malas? Budaya kacungisme?
Saya juga orang yang suka tersenyum, bahkan pelucu yang kerap tertawa terbahak-bahak. Saya percaya senyum akan mengawali sebuah hal positif. Jadi kalau masalah ini saya uraikan sebagai sebuah sudut pandang, itu bukan karena saya anti senyum. Idealnya mungkin menjadi seorang yang lintas budaya, artinya kita peduli dan sensitif atas pemikiran budaya lain atas tindakan dan sikap kita? Dengan kata lain, sebagai manusia lintas budaya kita mestinya tahu kapan harus senyum, dan kapan harus senyam-senyum.