Masih soal identitas Batak. Saya berusia  sekitar 15 tahun pertama kali menginjak yang namanya tanah leluhur. Saya  ingat betul waktu itu sambil bersungut-sungut saya menyusuri jalan  setapak dari Danau Toba menuju rumah tua peninggalan Opung saya yang  secara fisik tidak pernah saya kenal. Dalam perjalanan, beberapa kali  sepatu cinderella saya menginjak taik kerbau. “Kok, banyak sekali taik  kerbau di Kerajaan Batak yang sering dibanggakan si Papi ini” pikir saya  waktu itu.
Ayah saya sering kali membanggakan dirinya sebagai cucu Ompu Raja  Hattu, buyut saya yang hidup sekitar abad 19. Katanya ia seorang Raja  yang bijak seperti empu, Landlord, pemilik banyak tanah, juga seorang pahlawan perang (konon banyak  tanah yang direbutnya lewat peperangan), penganut animisme yang juga  poligamis, sakti dan magis (konon si ompung ini bisa menghilang mengelabui  musuhnya), dan sangat disegani oleh lawan dan kawannya. Tadinya saya  pikir dia punya Keraton seperti Sultan Yogjakarta. Ternyata tidak. Hanya  rumah panggung sederhana yang itupun dibangun oleh anaknya, kakek saya.  Kayu penopang rumah itu luar biasa bagus padahal sudah ratusan tahun  umurnya. Itu yang saya lihat 25 tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, hebat  juga si Opung ini! Bayangkan, ia sudah memberangkatkan generasi pertama  keluarga saya untuk merantau ke Semarang sebelum awal tahun 30 dari  tempat yang begitu remote. Kalau sekarang rumah itu sangat bagus dengan  antena parabola didepannya, itu karena keturunannya telah ramai-ramai  merenovasinya. Waktu itu nalar saya sudah mengatakan bahwa konsep Raja  di suku bangsa Batak bebeda dengan konsep Raja-Raja di Jawa atau di  Inggris.
Sebutan Raja diberikan oleh sebuah keturunan marga sebagai bentuk  penghormatan kepada seseorang yang ‘dirajakan’ atau dihormati, bukan  karena rakyat menghamba kepadanya atau sang raja menguasai teritori  kerajaan yang berkekuatan hukum. Terlebih jika orang yang dihormati ini  atau si raja ini punya banyak tanah (landlord), maka dia akan lebih  dihormati. Double lah penghormatan itu. Manusiawi kan? Artinya kakinya  tidak nyemplung ke sawah langsung menanam padi, melainkan dia punya  man-power, sanak-saudara dan orang sekampung yang berkerja untuknya di  tanahnya. Sekali lagi intinya, makna raja di suku bangsa batak adalah sebuah  penghormatan. Ke”rajaan”nya tidak terwarisi seperti mewarisi darah biru  sebuah dinasti. Tak ada yang lebih raja dari raja lain. Yang lebih kaya  satu dengan yang lain yah tentu ada. Yang lebih dulu merantau juga ada. Jadi  kalau ada orang Batak bilang opungnya raja diraja, Raja beneran, either  dia bohong atau sok tahu atau dia enggak mudeng sama filosofinya.  Kuburan sebesar dan semewah pyramid tidak akan membuatnya jadi raja  beneran. It certainly doesn’t make any of his family a royalty! Pastinya mungkin  membuat dia kelihatan lebih kaya dari lainnya atau mungkin lebih maju  dari lainnya. Mungkin! Keturunannya ingin mendudukkannya di posisi  terhormat. Sah-sah juga! Bentuk pemujaan biasa.
Kalau satu wilayah geografis suku bangsa batak lebih maju dari  lainnya itu adalah karena konsep migrasi, walaupun disetiap wilayah saya  melihat kemiskinan dan ke-tradisional-an yang saya gambarkan dengan  taik kerbau. Bahkan ketika 1 bulan lalu saya kembali mengunjungi wilayah  itu! Teorinya di tempat yang ditinggali imigran akan lebih banyak  modernisasi karena disanalah terjadi akulturasi dan asimilasi budaya.  Apalagi jika wilayah itu berada di perbatasan budaya lain seperti orang batak  selatan yang posisinya dekat Sumatra Barat. Pembauran. San Fransisco  juga jauh lebih multikultural dan modern dari pada dusun bahkan kota di  Oklahoma. Di San Francisco ada Kampung Cina, Kampung Hispanik, dll. Di  Jakarta ada Kampung Ambon. Di Simalungun ada Tanah Jawa. Di Medan ada  Kampung Keling. Karakteristik wilayah migran.
Orang batak malah terkondisikan Demokratis bukan Monarkis. Philosophy  of Life orang batak terlihat pada sistem kekerabatannya. Orang Batak  menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak lahir hingga mati dalam 3  posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun),  yang mencerminkan sistem demokrasi kekerabatan orang batak. Dalihan  dapat diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi  duduk”. Keduanya mengandung arti yang sama.
Ada tiga (3) Posisi Penting  dalam sistem kekerabatan orang Batak, yaitu:
1. HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang  orang yang posisinya “di atas”, yaitu keluarga marga pihak istri  sehingga disebut Somba-Somba Marhula Hula yang berarti harus hormat  kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan  kesejahteraan.
2. DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok  orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga  sehingga disebut Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar  terhindar dari perseteruan.
3. BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya  “di bawah”, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya,  keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari  disebut Elek Marboru artinya "berbaik-baik dengan keluarga perempuan"  agar selalu saling mengasihi supaya  mendapat berkat.
Setiap orang batak PASTI memiliki dan pernah berada di salah satu  posisi itu. Jadi Dalihan Na Tolu bukanlah kasta; ada saatnya seseorang  menjadi  Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan  ada saatnya menjadi Boru. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak  memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status  seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Jendral berbintang 4 harus  siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak  istri yang kebetulan seorang Lurah. Itulah realitas kehidupan orang  Batak yang sesungguhnya. Walaupun prakteknya sekarang, mana ada jendral  bintang 4 cuci piring di pesta.
Culture-crash atau konflik budaya juga sering terjadi karena  konsep demokrasi ini. Saya misalnya, akan berargumentasi dengan Tulang  saya (Catat; hula-hula) kalau saya tidak setuju akan sesuatu. Jaman dulu hal  seperti itu tidak mungkin terjadi. Tapi filosofi luar biasa itu  dimengerti maknanya oleh orang batak dengan beberapa penyesuaian sesuai  jaman tentunya.
Beberapa dekade setelah perjalanan spiritual pertama ke tanah leluhur  itu, saya baru mengerti bahwa ayah saya mengajarkan anak-anaknya untuk  mengenal dan bangga pada leluhurnya karena dari orang-orang kampung yang  sederhana itu dilahirkan banyak Pemimpin, Hakim, Jendral, Profesor  Sejarah, Dokter, Pengacara, Diplomat, Sastrawan, dan tentunya juga  Supir, Tukang Tambal Ban dan Petani. Sampai ia mati, Ayah saya tetap  mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai orang-orang miskin dan udik  yang tidak seberuntung kami, yang so called “saudara seleluhur” itu dan  tentunya bersyukur dengan semua kelebihan yang kami peroleh.
By: Tika Sinaga
