Saya baru saja  kembali dari Bali, minggu lalu. Sudah  puluhan kali saya ke Bali  untuk pelesiran atau urusan kerja, dan bahkan pernah tinggal disana kurang lebih satu tahun di sekitar tahun 1988-1989,  tetapi perempuan pemecah dan  penjaja  batu di Tabanan itu, baru dalam perjalanan  kemarin saya perhatikan. 
Diundang bersama teman-teman dari sebuah "weekend gateaway" program yang diadakan oleh Majalah MORE, saya baru saja  bertemu  dengan perempuan-perempuan itu di kampung kecil bernama Desa Tegal Jadi, di wilayah Kabupaten Tabanan. Sejenak  kami mencoba “menyelami” pekerjaan mereka dengan caberjalan beriringan, menyusuri jalan  yang mereka tempuh dari jalan tempat mereka meletakkan batu di tepi  jalan besar, menuju sungai kecil yang curam dan terjal, sekitar 400  meter jarak tempuhnya. Untuk mencapai sungai kecil itu anda harus  berjalan di jalan setapak yang menurun dengan cukup curam, sebelum harus menuruni anak tangga yang  sangat terjal dan licin, tanpa  pembatas di kanan-kiri kita. Jika saya  tergelincir kemarin (thank God we're  all fine!), saya pasti  akan luka parah, karena dari tangga terjal tempat saya turun menuju dasar tanah itu berjarak sekitar 6  s/d 8 meter. Di sungai kecil di dasar jurang itu mereka memecah-mecah  batu  yang masih menggunung dan mengangkatnya ke jalan raya, dengan kembali menyusuri tempat kami  berjalan turun tadi, kali ini tentunya mendaki dengan 3 bongkahan besar batu di  kepala mereka. Dalam sehari (Sekitar 8 jam kerja) mereka mampu  mengangkat dan menyusun ½ kubik batu kali yang harga jualnya sekitar Rp.  20,000 per kubik.  Dari kacamata apapun atau siapapun kelihatannya tidak manusiawi.  Sad? I think so. What a life!
Jadi jika anda sedang jengkel dengan bonus di kantor anda yang tidak kunjung tiba, atau resah dengan gaji yang sudah 7 tahun tidak naik, ingat saja perempuan Tabanan pemecah dan pengangkat batu di gambar ini. Pasti anda akan menyukuri semua yang sudah atau sedang anda peroleh.

