"While I thought that I was learning how to live, I have been learning how to die."~~ Leonardo Da Vinci
“Ketika saya pikir saya sedang belajar menjalani kehidupan, sebenarnya saya juga sedang belajar menghadapi kematian”, demikian kutipan seniman terkenal Leonardo Da Vinci. Da Vinci hendak mengatakan bahwa kematian dan kehidupan adalah dua hal yang setiap manusia pasti akan pelajari secara alamiah. Kematian tidak lebih dari sebuah kepastian yang menjadi bagian kehidupan.
Saya baru melepas sepupu kandung saya ke peristirahatannya terakhir, kamis kemarin. Bram Mozarto namanya. Lelaki lajang berusia 37 tahun itu, kurang lebih 24 tahun lamanya berjuang melawan penyakit yang ia derita sejak ia terdeteksi memiliki kelainan pada levernya di usia 13 tahun. Hampir seumur hidup saya, saya mengenal sepupu yang satu ini selalu dengan berita sakit atau masuk rumah sakit. Ribuan kali panas tinggi dan demam, ratusan liter muntah darah, ratusan kali keluar masuk rumah sakit, biaya-biaya pengobatan yang menguras harta, pikiran dan energi seluruh keluarganya. Selama 24 tahun sejak deteksi pertama pada usia 13 itu levernya mengeras se-mili demi se-mili hingga menutupi sekitar 85 % hatinya. Cirrhosis itu berubah menjadi kanker yang menggerogoti setiap centimeter tubuhnya hingga ke otaknya. Yup, 23 tahun lamanya. Sebuah proses yang panjang. Ada masa-masa ketika penyakit itu seolah hilang dan ia bersemangat menjalankan aktivitas-aktivitasnya, sebelum kemudian semuanya akan kembali ke titik awal, panas tinggi, demam, muntah darah, masuk rumah sakit, keluar rumah sakit, demikian berulang ulang. Aktivitas apapun yang dimulainya selalu terhenti ditengah jalan karena masa-masa berat dari penyakit itu datang silih berganti. Sangkin seringnya ia masuk Rumah Sakit, teman dan kerabat sudah tidak membesuknya lagi.
“Ahirnya….”, demikian ibunya membisikkannya ke telinga saya ketika saya memeluknya dihadapan tubuh anaknya yang terbujur kaku dalam peti mati berukir di rumah duka RS Cikini. Saya mengerti maksudnya. “Akhirnya penderitaannya berakhir….” Atau “akhirnya penderitaan seluruh keluarga berakhir…’. Belakangan, ibunya sudah tidak lagi berdoa untuk kesembuhannya. “Aku berdoa, kalau ia dipanggil Tuhan, tolong panggil ia dalam tidurnya, supaya ia tidak kesakitan”, demikian ibunya bercerita pada saya. Dan ia memang dipanggil dalam tidurnya, dengan dikelilingi seluruh keluarga. Ia menghadapi kematiannya dengan berani karena sudah dinantikannya begitu lama. Ia sadar betul bahwa ujung dari penyakit itu adalah kematian. Kematian menjadi sebuah proses yang dijalani dan ditunggu. Keterus-terangan dokter dan keluarga padanya atas resiko penyakit ini juga sudah ia dengar langsung.
Saya sangat mengerti jika dibalik semua airmata itu, ada kelegaan dan ucapan syukur atas berakhirnya semua itu. Penderitaan 6 bulan terakhirnya sangat menyiksa siapapun yang melihatnya. Teriakan dan keluhan kesakitan ketika racun itu menjalar ke otaknya, tanpa disadari memberikan ujian mental yang luar biasa bagi orang-orang sekelilingnya. Kadang-kadang kejengkelannya pada situasi datang dan membuahkan amarah namun memberikan rasa iba.
Misteri hidup yang luar biasa, 24 tahun dalam penantian ajal. Mengapa harus 24 tahun? Seperti Da Vinci katakan di atas, kematian adalah sebuah learning process, meskipun untuk banyak orang kedatangannya tiba-tiba tanpa tanda apapun, namun untuk Bram Mozarto, sepupu saya, kematian adalah sebuah penantian yang panjang. Ia pasti sedang senyum-senyum melihat mata-mata keluarganya yang masih sembab karena airmata. Saya bayangkan ia mengatakan : ”semua pasti dapat giliran…..”
Saya berharap kematian ini adalah titik balik bagi seluruh keluarga untuk mengisi banyak lubang yang hilang selama 24 tahun.
“Kalau aku mati nanti, Tuhan, panggil aku tiba-tiba, jangan dengan penantian panjang seperti Bram Mozarto”, itu mungkin doa saya.
No comments:
Post a Comment