Tuesday, February 17, 2009

Hari Pembantu Nasional, Bik Sum dan Si Puput, Anak Indonesia Yang Tidak Punya Cita-Cita.

Ketika beberapa LSM mengundang saya untuk hadir dalam aksi solidaritas untuk Pembantu Rumah Tangga (PRT) di bundaran Senayan pada tanggal 15 Februari kemarin, saya jadi teringat pada almarhum Bik Sum, pembantu yang saya kenal sejak saya dan 5 saudara saya lahir sampai ia meninggal dunia dihadapan saya tahun 2006 lalu.

Bik Sum, perempuan Jawa asal Semarang itu, bekerja pada kami selama kurang lebih 55 tahun, melayani generasi Almarhum Nenek saya, Ibu saya, saya dan saudara-saudara saya, serta bertemu dengan generasi kemenakan saya di hari tuanya. Selama 7 tahun terakhir hidupnya, praktis ia hanya tinggal makan, tidur dan nonton TV, dan dengan tegas ia menolak ketika kami mengusulkan untuk memasukkannya ke Panti Jompo. Selama 3 tahun sebelum ia meninggal, saya mempekerjakan seorang pembantu lagi yang secara khusus melayani perempuan tua yang sudah sangat rewel dan bertingkah seperti anak kecil itu.

Merawat perempuan tua yang tidak pernah menginjak bangku sekolah itu sangat tidak mudah. Jika makanan yang dimasak menurutnya tidak enak, ia akan membuang makanan yang disajikan, dan meminta makanan kesukaannya. Belum lagi kegemaran-kegemaran anehnya seperti menyembunyikan barang-barang rombeng yang sudah kami buang ke tempat sampah dan dianggapnya masih bagus. Ketika saat-saat tertentu saya melakukan inspeksi dan memeriksa kamarnya dan membuang sekitar 2 karung barang bekas yang sebenarnya sudah pernah dibuang, ia akan menangis menjerit-jerit sambil mengambil tali dan mengancam untuk bunuh diri. Biasanya saya dan saudara-saudara saya akan tertawa-tawa dan menakut-nakuti dia akan memanggil Polisi. Sampai nafas terakhirnya saya ada disampingnya, dan selalu minta maaf atas kesalahan saya dan keluarga saya selama ini dan minta ia pergi dengan tenang serta berulang-ulang meyakinkan ia bahwa tinggal bersama Tuhan akan lebih enak, kata saya. Anda tahu jawabnya? “Aku mau sembuh Non, mau sembuh, aku masih kuat”. Padahal ketika ia berkata seperti itu, usianya sudah hampir 90, matanya sudah buta karena sakit 3 bulan terakhir, nafasnya tersengal-sengal karena asma akut, tangannya patah dan kami topang karena ia sempat mencoba bangun dari tempat tidur tetapi terjatuh, aktivitas buang airnya sudah dilakukan di tempat tidur, baunya sudah tak enak dan berat badannya mungkin hanya tinggal 30 Kg.

Bik Sum adalah simbol kesetiaan, dan kekuatan seorang Pembantu rumah tangga.

Puput adalah seorang perempuan kecil lumayan cerdas berusia 8 tahun, asal Kutoarjo. Suaranya cempreng, bicaranya ceplas-ceplos, berani, makannya banyak seperti orang dewasa. Ia terdampar di rumah saya beberapa bulan terakhir ini bersama ibunya, seorang janda berusia 40, pembantu saya yang luar biasa cerewet, tetapi dengan skill yang jauh dibawah angka 6. Saya harus mendidiknya dari awal untuk memenuhi standard kerapihan dan kebersihan di rumah saya, serta mendisiplinkan kecerewetannya. Majikan tempat ia bekerja sebelumnya rupanya tidak peduli pada standard-standard itu, akan tetapi peduli pada “label panggilan” untuk mereka. Ia diharuskan memanggil majikannya terdahulu dengan sebutan “Tuan” dan “Nyonya” seperti jaman perbudakan kolonial Belanda. Saya terheran-heran!
“Mengapa bukan Bapak dan Ibu?”, tanya saya, dengan alis berkernyit.
“Enggak boleh, Kak, harus Tuan dan Nyonya”, jawab Sunarni pembantu saya.

Si kecil Puput, anak pembantu saya itu bersekolah di sebuah sekolah negeri gratis,dekat rumah saya, jadi praktis saya hanya sesekali mengeluarkan uang untuk membeli seragam, buku, uang jajan harian serta pakaian. Puput sadar betul ibunya adalah seorang Pembantu Rumah Tangga, dan dengan lantang ia menjawab; “Pembantu!”, ketika gurunya atau temannya bertanya apa pekerjaan ibunya. Sesekali di waktu senggang saya memeriksa bukunya dan mengarahkan dia untuk menulis puisi dalam sebuah buku agar ia sedikit lebih “cultured” dan melupakan sinetron televisi. Walaupun ia rangking I di sekolahnya, tetapi setiap kali saya bertanya apa cita-citanya kalau sudah besar, Puput akan menjawab: “belum tau!” atau “tidak tau!”.

“Semua orang punya cita-cita, Puput!”, kata saya. “Kamu harus punya cita-cita, Dek, harus punya keinginan. Apa keinginanmu? Main Sinetron? Jadi polisi? Jadi Dokter? Jadi Guru? Asal jangan jadi peragrawati, karena kamu kelihatannya bakal bogel dan pendek, dan jangan jadi pembantu lagi dong, biar enggak miskin terus”, sambung saya dengan mendorong.

“Aku enggak tahu, Kakak. Kan orang nasibnya beda-beda dan ganti-ganti”, jawab Puput, dengan sedikit sewot.

Jawabannya seperti mengemplang kepala saya. Sampai saya menulis Notes ini, setelah berbulan-bulan, Puput tetap belum “make up her mind”, mau jadi apa dia kelak. Padahal ketika saya seusia Puput, saya akan menjawab cita-cita saya dengan konsisten setiap kali ditanya, demikian pula kemenakan-kemenakan saya dan anak-anak seusia Puput yang saya kenal, mereka akan menjawab cepat ketika ditanya cita-citanya.

Sebagai anak pembantu, Puput sudah dipagari atau terpagari tanpa sadar oleh faham “pasrahisme”; pasrah dengan nasibnya. “Gimana nanti” itu filosofi hidupnya. Saya merasa berkewajiban merubah mindset kepala Puput itu. Belakangan kami sering membawanya ke Mall atau ke acara-acara keluarga, supaya Puput melihat dunia luar dengan lebih luas lagi dan, hopefully, one day dia akan punya cita-cita seperti semua anak-anak lain. Minimum, saat ini Bahasa Indonesianya, caranya bertutur dan choice of words yang ia gunakan, sudah mirip dengan kami sekeluarga. Asal jangan bicara cita-cita. Untuk yang satu itu ia masih bingung.

Puput adalah simbol kepasrahan seorang PRT. Kepasrahan itu ditularkan ke generasi baru mereka; anak-anak mereka.

Cerita-cerita mengenai pembantu kita ada dalam kantong kita masing-masing. Kadang terkunci rapat sebagai rahasia kita. Setiap hari kita bertarung dengan "anger management" kita ketika menghadapi pembantu yang bodoh, jorok, pembohong, "ndablek", malas, rakus atau bau. Tapi mungkin semua cerita rahasia dibalik pintu rumah kita itu terwakili oleh slogan-slogan yang saya baca pada hari aksi Solidaritas 15 February lalu; "Berikan Hari Libur untuk Pembantu Rumah Tangga,"; "Beban Kerja yang Berat,"; "Berikan Waktu Belajar untuk Pembantu Rumah Tangga,"; “Prioritaskan UU Perlindungan Pembantu”; “Upah Minimum pembantu berapa?”, dsb
  
           So, should We Say, Selamat Hari Pembantu Nasional?

                                                             Puput