Tuesday, November 13, 2007

DI KERAJAAN BATAK BANYAK TAIK KERBAU

Masih soal identitas Batak. Saya berusia sekitar 15 tahun pertama kali menginjak yang namanya tanah leluhur. Saya ingat betul waktu itu sambil bersungut-sungut saya menyusuri jalan setapak dari Danau Toba menuju rumah tua peninggalan Opung saya yang secara fisik tidak pernah saya kenal. Dalam perjalanan, beberapa kali sepatu cinderella saya menginjak taik kerbau. “Kok, banyak sekali taik kerbau di Kerajaan Batak yang sering dibanggakan si Papi ini” pikir saya waktu itu.

Ayah saya sering kali membanggakan dirinya sebagai cucu Ompu Raja Hattu, buyut saya yang hidup sekitar abad 19. Katanya ia seorang Raja yang bijak seperti empu, Landlord, pemilik banyak tanah, juga seorang pahlawan perang (konon banyak tanah yang direbutnya lewat peperangan), penganut animisme yang juga poligamis, sakti dan magis (konon si ompung ini bisa menghilang mengelabui musuhnya), dan sangat disegani oleh lawan dan kawannya. Tadinya saya pikir dia punya Keraton seperti Sultan Yogjakarta. Ternyata tidak. Hanya rumah panggung sederhana yang itupun dibangun oleh anaknya, kakek saya. Kayu penopang rumah itu luar biasa bagus padahal sudah ratusan tahun umurnya. Itu yang saya lihat 25 tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, hebat juga si Opung ini! Bayangkan, ia sudah memberangkatkan generasi pertama keluarga saya untuk merantau ke Semarang sebelum awal tahun 30 dari tempat yang begitu remote. Kalau sekarang rumah itu sangat bagus dengan antena parabola didepannya, itu karena keturunannya telah ramai-ramai merenovasinya. Waktu itu nalar saya sudah mengatakan bahwa konsep Raja di suku bangsa Batak bebeda dengan konsep Raja-Raja di Jawa atau di Inggris.

Sebutan Raja diberikan oleh sebuah keturunan marga sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang yang ‘dirajakan’ atau dihormati, bukan karena rakyat menghamba kepadanya atau sang raja menguasai teritori kerajaan yang berkekuatan hukum. Terlebih jika orang yang dihormati ini atau si raja ini punya banyak tanah (landlord), maka dia akan lebih dihormati. Double lah penghormatan itu. Manusiawi kan? Artinya kakinya tidak nyemplung ke sawah langsung menanam padi, melainkan dia punya man-power, sanak-saudara dan orang sekampung yang berkerja untuknya di tanahnya. Sekali lagi intinya, makna raja di suku bangsa batak adalah sebuah penghormatan. Ke”rajaan”nya tidak terwarisi seperti mewarisi darah biru sebuah dinasti. Tak ada yang lebih raja dari raja lain. Yang lebih kaya satu dengan yang lain yah tentu ada. Yang lebih dulu merantau juga ada. Jadi kalau ada orang Batak bilang opungnya raja diraja, Raja beneran, either dia bohong atau sok tahu atau dia enggak mudeng sama filosofinya. Kuburan sebesar dan semewah pyramid tidak akan membuatnya jadi raja beneran. It certainly doesn’t make any of his family a royalty! Pastinya mungkin membuat dia kelihatan lebih kaya dari lainnya atau mungkin lebih maju dari lainnya. Mungkin! Keturunannya ingin mendudukkannya di posisi terhormat. Sah-sah juga! Bentuk pemujaan biasa.

Kalau satu wilayah geografis suku bangsa batak lebih maju dari lainnya itu adalah karena konsep migrasi, walaupun disetiap wilayah saya melihat kemiskinan dan ke-tradisional-an yang saya gambarkan dengan taik kerbau. Bahkan ketika 1 bulan lalu saya kembali mengunjungi wilayah itu! Teorinya di tempat yang ditinggali imigran akan lebih banyak modernisasi karena disanalah terjadi akulturasi dan asimilasi budaya. Apalagi jika wilayah itu berada di perbatasan budaya lain seperti orang batak selatan yang posisinya dekat Sumatra Barat. Pembauran. San Fransisco juga jauh lebih multikultural dan modern dari pada dusun bahkan kota di Oklahoma. Di San Francisco ada Kampung Cina, Kampung Hispanik, dll. Di Jakarta ada Kampung Ambon. Di Simalungun ada Tanah Jawa. Di Medan ada Kampung Keling. Karakteristik wilayah migran.

Orang batak malah terkondisikan Demokratis bukan Monarkis. Philosophy of Life orang batak terlihat pada sistem kekerabatannya. Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak lahir hingga mati dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun), yang mencerminkan sistem demokrasi kekerabatan orang batak. Dalihan dapat diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang sama.

Ada tiga (3) Posisi Penting dalam sistem kekerabatan orang Batak, yaitu:
1. HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di atas”, yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut Somba-Somba Marhula Hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
2. DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga sehingga disebut Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
3. BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut Elek Marboru artinya "berbaik-baik dengan keluarga perempuan"  agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.

Setiap orang batak PASTI memiliki dan pernah berada di salah satu posisi itu. Jadi Dalihan Na Tolu bukanlah kasta; ada saatnya seseorang  menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Jendral berbintang 4 harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Lurah. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Walaupun prakteknya sekarang, mana ada jendral bintang 4 cuci piring di pesta.

Culture-crash atau konflik budaya juga sering terjadi karena konsep demokrasi ini. Saya misalnya, akan berargumentasi dengan Tulang saya (Catat; hula-hula) kalau saya tidak setuju akan sesuatu. Jaman dulu hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Tapi filosofi luar biasa itu dimengerti maknanya oleh orang batak dengan beberapa penyesuaian sesuai jaman tentunya.

Beberapa dekade setelah perjalanan spiritual pertama ke tanah leluhur itu, saya baru mengerti bahwa ayah saya mengajarkan anak-anaknya untuk mengenal dan bangga pada leluhurnya karena dari orang-orang kampung yang sederhana itu dilahirkan banyak Pemimpin, Hakim, Jendral, Profesor Sejarah, Dokter, Pengacara, Diplomat, Sastrawan, dan tentunya juga Supir, Tukang Tambal Ban dan Petani. Sampai ia mati, Ayah saya tetap mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai orang-orang miskin dan udik yang tidak seberuntung kami, yang so called “saudara seleluhur” itu dan tentunya bersyukur dengan semua kelebihan yang kami peroleh.

By: Tika Sinaga

Sunday, November 11, 2007

Belajar Menghadapi Kematian

           "While I thought that I was learning how to live, I have been learning how to die."~~ Leonardo Da Vinci

“Ketika saya pikir  saya sedang belajar menjalani kehidupan, sebenarnya saya juga sedang belajar menghadapi kematian”, demikian kutipan seniman terkenal Leonardo Da Vinci. Da Vinci hendak mengatakan bahwa kematian dan kehidupan adalah dua hal yang setiap manusia pasti akan pelajari secara alamiah. Kematian tidak lebih dari sebuah kepastian yang menjadi bagian  kehidupan.

Saya baru melepas  sepupu kandung saya ke peristirahatannya terakhir, kamis  kemarin. Bram Mozarto namanya. Lelaki lajang  berusia 37 tahun itu,  kurang lebih 24 tahun lamanya  berjuang melawan  penyakit yang ia derita sejak ia terdeteksi memiliki kelainan pada levernya di usia 13 tahun. Hampir seumur hidup saya, saya mengenal sepupu yang satu ini selalu dengan berita sakit atau masuk rumah sakit. Ribuan kali panas tinggi dan demam, ratusan  liter muntah darah, ratusan kali keluar masuk rumah sakit, biaya-biaya pengobatan yang menguras harta, pikiran  dan energi seluruh keluarganya. Selama 24 tahun  sejak deteksi pertama pada usia 13 itu levernya mengeras se-mili demi se-mili hingga menutupi sekitar 85 % hatinya. Cirrhosis itu berubah menjadi kanker yang menggerogoti setiap centimeter tubuhnya hingga ke otaknya. Yup, 23 tahun lamanya. Sebuah proses yang panjang. Ada masa-masa  ketika penyakit itu seolah hilang dan ia bersemangat menjalankan aktivitas-aktivitasnya, sebelum kemudian semuanya  akan kembali ke titik awal, panas tinggi, demam, muntah darah, masuk rumah sakit, keluar rumah sakit, demikian berulang ulang. Aktivitas apapun yang dimulainya selalu terhenti ditengah jalan karena masa-masa berat dari penyakit itu datang silih berganti. Sangkin seringnya ia masuk Rumah Sakit, teman dan kerabat sudah tidak membesuknya lagi.

            “Ahirnya….”, demikian ibunya membisikkannya ke telinga saya ketika saya memeluknya dihadapan tubuh anaknya yang terbujur kaku dalam peti mati berukir di rumah duka RS Cikini. Saya mengerti maksudnya. “Akhirnya penderitaannya berakhir….” Atau  “akhirnya penderitaan seluruh keluarga berakhir…’.  Belakangan, ibunya sudah tidak lagi berdoa untuk kesembuhannya. “Aku berdoa, kalau ia dipanggil Tuhan, tolong panggil ia dalam tidurnya, supaya ia tidak kesakitan”, demikian ibunya bercerita pada saya. Dan ia memang dipanggil dalam tidurnya, dengan  dikelilingi seluruh keluarga. Ia menghadapi kematiannya dengan berani karena sudah dinantikannya begitu lama. Ia sadar betul bahwa ujung dari  penyakit itu adalah kematian. Kematian menjadi sebuah proses yang dijalani dan ditunggu. Keterus-terangan dokter dan keluarga padanya atas resiko penyakit ini juga sudah ia dengar langsung.

Saya sangat mengerti jika dibalik semua airmata itu, ada kelegaan dan ucapan syukur atas berakhirnya semua itu.  Penderitaan 6 bulan  terakhirnya sangat menyiksa siapapun yang melihatnya. Teriakan dan keluhan  kesakitan ketika racun itu menjalar ke otaknya, tanpa disadari memberikan ujian  mental yang luar biasa bagi  orang-orang sekelilingnya. Kadang-kadang kejengkelannya pada situasi datang dan membuahkan amarah  namun memberikan rasa iba.

Misteri hidup yang luar biasa, 24 tahun dalam penantian ajal. Mengapa harus 24 tahun?  Seperti Da Vinci katakan di atas, kematian adalah sebuah learning process, meskipun untuk banyak orang kedatangannya tiba-tiba tanpa tanda apapun, namun  untuk Bram Mozarto, sepupu saya, kematian adalah sebuah penantian yang panjang. Ia pasti sedang senyum-senyum melihat mata-mata keluarganya yang masih sembab karena airmata. Saya bayangkan ia mengatakan : ”semua pasti dapat giliran…..”

Saya berharap kematian ini adalah titik balik bagi seluruh keluarga untuk mengisi banyak lubang yang hilang selama 24 tahun.

“Kalau aku mati nanti,  Tuhan, panggil aku tiba-tiba, jangan dengan penantian panjang seperti Bram Mozarto”, itu mungkin doa saya.